BAB
I
PENDAHULUAN
Sejarah pendidikan islam di
Indonesia mulai muncul dan berkembang pada akhir abad ke 19. Ini disebabkan
adanya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme sekaligus sebagai respon
terhadap kepincangan-kepicangan yang ada dikalangan masyarakat Indonesia.
Rakyat Indonesia dengan gigih memperjuangkan serta rela mengorbankan
jiwa dan harta melalui organisasi umat islam, mereka menyumbangkan andil besar
dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dari organisasi
islam ini ditumbuhkan dan dikembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan
rakyat melalui pendidikan.
Organisasi islam itu dimunculkan oleh
para tokoh-tokoh islam yang mempunyai kapibilitas keilmuan dan keagamaan yang
tak diragukan lagi. Organisasi islam ini juga melahirkan berbagai macam lembaga
pendidikan beserta sistem dan isinya.
Untuk itu, makalah ini kami susun
adalah untuk mencoba menerangkan sedikit tentang organisasi islam beserta
pendidikan islam, serta peranannya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Lahirnya Organisasi Islam di Indonesia
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia
lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa
nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di
kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran
total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah
pertama diwujudkan dalam bentuk kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara ditempuh pemerintah kolonial
waktu itu untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui media pendidikan
namun tidak banyak membawa hasil, malahan makin menumbuhkan kesadaran
tokoh-tokoh Organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda, dengan cara
menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat
dengan melalui pendidikan. Dengan sendirinya kesadaran berorganisasi yang
dijiwai oleh perasaan nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan dan
era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Dan dengan demikian lahirlah Perguruan-perguruan
Nasional, yang ditopang oleh usaha-usaha swasta (partikelir menurut istilah
waktu itu) yang berkembanag pesat sejak awal tahun 1900an.
Para pemimpin pergerakan nasional dengan kesadaran
penuh ingin mengubah keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka insyaf bahwa
penyelenggaraan pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke
dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-sekolah partikelir (swasta)
atas usaha para perintis kemerdekaan. Sekolah sekolah itu semula memiliki dua
corak, yaitu:
1. Sesuai
dengan haluan politik, seperti:
a. Taman
Siswa, yang mula-mula didirikan di Yogyakarta.
b. Sekolah
Syarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan Komunis.
c. Ksatrian
Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setia Budi) di Bandung.
d. Perguruan
Rakyat, di Jakarta dan Bandung.
2. Sesuai
dengan tuntunan/ajaran agama (Islam), yaitu:
a. Sekolah-sekolah
serikat Islam
b. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah
c. Sumatera
Tawalib di Padang Panjang
d. Sekolah-sekolah
Nahdatul Ulama
e. Sekolah-sekolah
Persatuan Umat Islam (PUI)
f. Sekolah-sekolah
Al-Jami’atul Wasliyah
g. Sekolah-sekolah
Al-Irsyad
h. Sekolah-sekolah
Normal Islam
i.
Dan masih banyak sekolah-sekolah lain
yang didirikan oleh organisasi Islam maupun oleh perorangan di berbagai kawasan
kepulauan baik dalam bentuk pondok pesantren maupun madrasah.[1]
B. Organisasi
Islam di Indonesia dan Perannya Dalam Pendidikan Bangsa
Organisasi massa Islam yang tumbuh di Indonesia jauh
sebelum kemerdekaan mempunyai andil yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kesadaran bangsa Indonesia tentang pentingnya pendidikan ditandai dengan
upaya-upaya mereka dalam bidang pendidikan baik melalui organisasi maupun
perorangan. Ada beberapa organisasi Islam yang memiliki andil sangat besar dan
berpartisipasi dalam pembaharuan di Indonesia. Organisasi itu antara lain
Sarekat Islam (SI), Jamiat Khair, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah,
Persatuan Islam (Persis), dan Nahdatul Ulama(NU).[2]
Disamping organisasi Islam yang berskala nasional,
masih banyak organisasi-organisasi Islam yang berskala lokal dan juga mempunyai
andil besar dalam turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada bagian berikut akan
dikhususkan pembahasan tentang organisasi-organisasi yang berdasarkan sosial
keagamaan yang banyak melakukan aktifitas kependidikan Islam.
1.
Syarikat Dagang Islam
Organisasi
Syarikat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di
Surakarta pada Tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang
pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang
besar Timur Asing yang lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang
lebih tinggi daripada penduduk Indonesia lainnya. Kebijakan yang sengaja
diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan
perubahan sosial karena timbulnya kesadaran diantara kaum pribumi yang biasa disebut
sebagai Inlanders.
SDI merupakan
organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai
dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang
pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh.
R.M. Tirtoadisuryo pada
tahun 1909 mendirikan
Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia.
Pada
tahun 1910 Tirtoadisuryo mendirikan lagi
organisasi semacam itu di Buitenzorg.
Demikian pula, di Surabaya H.O.S.
Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama
Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang
keuangan surat kabar SI, Utusan
Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI
menjadi Sarekat Islam (SI).[3]
2.
Jamiat Khair
Diawali
pada tahun 1898, beberapa tokoh dari kalangan masyarakat Arab sepakat untuk
membuat suatu perkumpulan yang bertujuan membantu kondisi sosial masyarakat
Arab. Berulangkali para tokoh masyarakat Arab mengadakan rapat untuk mewujudkan
cita-cita mereka membantu kondisi sosial masyarakat muslim dan rencana
mendirikan lembaga pendidikan Islam modern, yang merupakan semangat penolakan
mereka terhadap kebijaksanaan kependidikan yang diterapkan pemerintah kolonial
Belanda, sesuai dengan gagasan mufti Betawi sayid Usman bin Abdullah bin Yahya
agar ummat Islam membangun suatu lembaga pendidikan agama untuk menangkal
Kristenisasi melalui sekolah-sekolah negeri.
Pada tahun 1901 sebagai
langkah permulaan beberapa tokoh masyarakat Arab berinisiatif mendirikan sebuah
organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan berdasarkan Islam, yang diberi
nama Jamiat Khair. Berdasarkan permohonan tertanggal 15 Agustus 1903, dengan
tujuan organisasi untuk memberikan bantuan kepada orang-orang Arab yang
tertimpa musibah kematian dan membantu mereka dalam pelaksanaan perkawinan, kepengurusan
perkumpulan Jamiat Khair adalah sebagai berikut:
Ketua : Said bin Ahmad Basandiet
Wakil Ketua : Muhammad bin Abdullah Syahab
Sekretaris : Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur
Bendahara : Idrus bin Ahmad Syahab.[4]
Dua bidang kegiatan yang sangat
diperhatikan oleh organisasi ialah :
a.
Pendirian dan pembinaan satu sekolah
pada tingkat dasar.
b.
Pengiriman anak-anak muda ke Turki
untuk melanjutkan studi.
Sekolah dasar Jam’iat Khair bukan
semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan
umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung,
sejarah(umumnya sejarah islam), ilmu bumi, dan sebagainya. Kurikulum dan
jenjang kelas-kelas telah disusun dan terorganisir. Bahasa pengantar yang
dipergunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Disamping anak-anak
keturunan Arab, anak-anak Indonesia asli juga terdaftar di sekolah ini yang
kebanyakan dari Lampung. Bahasa Belanda tidak diajarkan, dan sebagai gantinya
bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib.[5]
Tujuan Jamiat Kheir semakin meluas,
diantaranya :
a.
Mendirikan dan mengurus
gedung-gedung sekolah serta bangunan lain di Batavia untuk kepentingan umat Islam.
b.
Mengupayakan sekolah-sekolah
untuk memperoleh pengetahuan agama,
c.
Mendirikan perpustakaan yang
mengupayakan buku-buku untuk menambah pengetahuan dan kecerdasan.[6]
3.
Al-Irsyad
Perhimpunan
Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri
pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian
Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya
sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.[7]
Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah
pedagang, tetapi guru sebagai tempat meminta fatwa ialah
Syeikh Ahmad Surkati yang segian besar dari umurnya dicurahkannya bagi penelaahan pengetahuan. Dilahirkan di Dunggala, Sudan pada tahun 1872 dari keluarga yang taat
beragama. Banyak mengetahui ayat-ayat Al-Quran ketika masih kecil.
Al-Irsyad sendiri menjuruskan
perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan
masyarakat Arab, walaupun orang-orang
Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerja sama dengan organisasi islam yang
lain, seperti Muhammadiyah dan Persatuan
Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang
mencakup persoalan Islam umumnya yang ada
di Indonesia. Ia juga turut serta dalam berbagai
kongres al Islam pada tahun 1920 an dan bergabung pada Majelis Islam
A’la Indonesia ketika federasi ini didirikan pada tahun 1937. pemuda
pemuda Indonesia asli juga mempergunakan fasilitas Al-Irsyad dalam
bidang pendidikan.
Murid-murid
Al-Irsyad, pada tahun-tahun pertama didirikan, terdiri dari anak-anak kalangan
Arab dan sebagian juga (walau dalam jumlah yang sangat kecil)
anak-anak Indonesia asli dari Sumatra dan Kalimantan. Kemudian
lebih banyak laga anak-anak Indonesia yang masuk sekolah itu.
Sebagaimana halnya dengan organisasi-organisasi lain, Al-Irsyad juga mempergunakan
tablig dan pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan pahamnya, ia juga
menerbitkan beberapa buah buku dan pamflet-pamflet. Dengan melalui media masa
ini Al-Irsyad menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Masalah-masalah
agama yang berasal dari gerakan Al-Irsyad sangat menggemparkan masyarakat
Islam, karena bertentangan dengan keyakinan yang ada pada waktu itu.[8]
4.
Persyarikatan Ulama
Persyerikatan ulama merupakan perwujudan
dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat, yang
dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Cibelerang Majalengka.
Kedua orang tuanya berasal dari keluarga
yng taat beragama (ayahnya seorang penghulu di Jaiwangi), sedangkan
saudara-saudaranya mempunyai hubungan yang erat secara kekeluargaan dengan
denga orang-orang dari kalangan pemerintahan.
KHA Halim memperoleh pelajaran agama pada masa
kanak-kanak sampai umur 22 tahun diberbagai pesantren di daerah Majalengka. Kemudian ia
pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Tiga
tahun berada di Makkah , ia mengenal tulisan-tulisan Abduh dan Jamaludin
Al-Afgani yang merupakan pokok pembicaraan bersama kawan-kawannya yang banyak
berasal dari daerah Sumatra. Di Makkah inilah ia pertama kali mengenal KH. Mas
Mansyur yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Tetapi KHA Halim tidak
merasa bahwa ia banyak ipengaruhi oleh Abduh ataupun Al-Afgani. Dan memang
sampai ia meninggal tahun 1962, tetap berpegang teguh pada mazhab Syafi’i.
Enam bulan
setelah kembali dari Makkah pada tahun 1991, KHA Halim mendirikan sebuah
organisasi yang ia beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak, baik di bidang
ekonomi maupun di bidang pendidikan. Organisasi ini juga bermaksud membantu anggota-anggotanya
yang bergerak dibidang perdagangan dan persaingan dengan pedagang-pedagang cina.
Hayatul
Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan pedagang cina yang
kadang-kadang menyebabkan perkelahian (perang mulut juga secara fisik) dianggap
oleh pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi
tersebut dilarang setelah tiga atau empat tahun bergerak. Tetapi kegiatannya
terus dilanjutkan walau tidak diberi nama resmi, termasuk kegiatan di bidang
ekonomi. Sedang keiatan pendidikan dilanjutkan oleh sebuah organisasi baru yng
disebut majlisul Ilmi.
Pada tahun
1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh
seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan
yang yang bersifat modern. Demikianlah sebuah sekolah dengan nama Jam’iat
I’anat al-Muata’alimin didirikan dengan mendapat sambutan yang baik dari
guru-guru lain di daerah tersebut.
Organisasi
tersbut yang kemudian diganti menjadi Persyerikatan Ulama, diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada
tahun 1917 dengan bantuan H.O.S. Cokroaminoto (Pimpinan Serikat Islam). Ia
disebut juga Perserikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan dengan
organisasi Islam lainnya Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII), menjadi persatuan
Umat Islam(PUI).
Pada tahun
1924 Persyarikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah
operasinya ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 ke seluruh
Indonesia. Persyerikatan ulama ini tetap merupakan
organissi dari majelengka. Organisasi ini juga membuka sebuah rumah anak yatim
yang diselenggarakan oleh Fatimiyah, bagian wanita dari organisasi tersebut,
yang diambil dari nama anak nabi Muhamad SAW yang didirikan pada tahun 1930.
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres Persyerikatan Ulama di
Majalengka, KHA Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan
melengkapi pelajaran-pelajarannya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan
berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat
masing-masing.
Pendiri persyerikatan ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut perlu juga
menitikberatkan pada pembentukan watak. Untuk keperluan ini sebuah tempat yang
tenang diuar kota merupakan tempat yang ideal. Kongres
menerima usul KHA halim. Suatu keluarga kaya dari ciomas memberikan setumpak
tanahnya dipasir ayu, kira-kira 10 km dari majalengka untuk keperluan
pelaksanaan cita-cita tersebut. Lembaga ini dinamakan Santi Asrama yang dibagi 3 bagian
yaitu: Tingkat permulaan, dasar dan lanjutan.
Persyerikatan ulama sejak mulai berdiri, menyelenggarakan juga
tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai
media penyebar cita-citanya.[9]
5.
Persatuan Islam (Persis)
Persatuan
Islam (Persis) adalah sebuah
organisasi Islam di Indonesia. Persis
didirikan pada 12
September 1923 di Bandung oleh
sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang
dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Ide
pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang
diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok yang berasal
dari Sumatra tetapi telah lama tinggal di Bandung. H.
Zam-zam ( 1984-1952) menghabiskan waktunya selama tiga tahun masa mudanya di Makkah dimana ia belajar memperdalam agama di
lembaga Darul-Ulum. Sekembalinya dari makkah ia menjadi
guru di Darul Muta’allimin,
sebuah sekolah agama di Bandung, dan mempunyai hubungan
erat dengan syekh Ahmad Surkati dari al-Irsyad di jakarta.
Ia
bersama teman dekatnya, H. Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang
sama-sama kelahiran Palembang, yang di masa mudanya memperoleh pendidikan agama
secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia mampu autodidak
melalui kitab-kitab yang jadi perhatiannya.
Topik
pembicaraan dalam kenduri itu bermacam-macam misalnya masalah-masalah agama
yang kemudian dimuat dalam majalah Al-Munir yang terbit di Padang. Majalah
al-manar yang terbit di mesir, pertikaian –pertikain al-irsyad dan jami’at
khair di Jakarta dan
berbagai persoalan lainnya.
6.
Muhammadiyah
Salah satu
organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia
II dan mungkim juga sampai saat sekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi
ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan
tanggal 18 Zulhijjah 1330 H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang
diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk
mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Organisasi
ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabii Muhammad SAW kepada
seluruh penduduk bumi putera” dan memajukan hal agama Islam kepada
anggota-anggotanya. Untuk mencapai hal itu organisasi ini bermaksud mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana
dibicarakan masalah-masalah Islam, menertibkan wakaf dan mendirikan
masjid-masjid serta menertibkan buku-buku, brosur-brosur surat kabar
dan majalah-majalah.
Dalam
mengarahkan kegiatan-kegiatannya, organisasi ini dalam tahun-tahun pertama
tidak mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara anggota pengurus. Hal ini
semata-mata disebabkan oleh ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu
sampai sekurang-kurangnya tahun 1917 pada daerah Kauman,Yogyakarta saja.
KHA Dahlan sendiri aktif bertablig, aktif pula mengajar di sekolah
Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk
melakukan berbagai macam kegiatan seperti salat, dan dalam memberikan bantuan
kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka. Daerah
operasi organisasi Muhammadiyah mulai diluaskan setelah tahun 1917. dalam tahun
1927 Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di
Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai, sedang pada tahun 1929 pengaruhnya
tersebar ke Aceh dan Makassar.[10]
7.
Nahdhatul Ulama (NU)
Nahdatul
Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (33 Januari 1926) di Surabaya.
Pembangunnya ialah dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur. Di antaranya ialah:
1) K.H Hasyim
Asy’ari Tebuireng
2) K.H Abdul
Wahab Hasbullah
3) K.H Bisri
Jombang
4) K.H
Ridwan Semarang
5) K.H Nawawi
Pasuruan
6) K.H.R.
Asnawi Kudus
7) K.H.R
Hambali Kudus
8) K. Nakhrawi
Malang
9) H.Doromuntaha
Bangkalan
10) H.M.Alwi
Abdul Azis
11) Dan lain-lain.[11]
C.
Tantangan Organisasi Islam
Seiring
perjalanan waktu, dinamika kehidupan bangsa pun terus bergerak secara dinamis.
Krisis ekonomi yang menerpa Indonesia sejak 1997 serta sejumlah bencana alam
yang terjadi membuat sejumlah kalangan prihatin. Keprihatinan ini pun tidak
semata-mata prihatin secara pasif. Dari keprihatinan ini justeru menimbulkan
semangat untuk bisa berbuat lebih banyak. Di kalangan umat Islam, keprihatinan
ini berbuah dan mengerucut untuk membentuk sejumlah wadah untuk bersinergi
menolong sesama. Maka, ketika itu sejumlah organisasi filantropi Islam pun
muncul untuk menjawab problem sosial ekonomi tersebut. Tidak diragukan, ketika
itu muncullah Yayasan Dompet Dhua’fa (YDD) terbentuk karena mengguritanya
kemiskinan umat, yaitu kelaparan hebat di Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Juga
Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) yang hadir merespon krisis kemanusiaan yang
terjadi, termasuk pula adanya pelbagai bencana alam, khususnya banjir dan gempa
bumi, yang terjadi di pelbagai wilayah Indonesia.
Kehadiran
dan kemunculan lembaga-lembaga filantropi Islam adalah suatu fenomena baru di
Indonesia. Selama ini sejumlah lembaga yang ada cenderung bergerak
sendiri-sendiri dan bersifat sporadis. Juga dalam skala yang terbatas, baik
kapasitas maupun kemampuan coverage-nya. Memang sebelumnya telah ada di
sejumlah daerah di Indonesia, namun rata-rata masih bersifat lokal dan dengan
manajemen dan sistem yang terbatas. Kehadiran lembaga filantrofi Islam yang
bersakala nasional dan massif sangat dibutuhkan untuk memperkuat
efektifitas dan kinerja dari terkonsolidasinya semangat masyarakat dalam
membantu sesame. Juga sangat diharapkan oleh bangsa ini secara luas, karena
walau lembaga ini digawangi sejumlah kalangan muslim, tapi kiprah mereka pada
dasarnya non diskriminatif dan berorientasi pada masalah-masalah yang riil
diderita dan dialami mereka yang sedang kesulitan, baik karena kesulitan
ekonomi atau karena ditimpa bencana.
Pada
dasarnya, konsep kedermawanan (Philanthrophy) telah lama dikenal dan
dipraktekkan oleh setiap etnik budaya dan komunitas keagamaan di pelbagai
belahan dunia. Di Indonesia, istilah philanthropy belum dikenal secara
luas, meskipun prakteknya telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat
Indonesia. Bahkan, untuk menggambarkan tindakan berdema di Indonesia,
masyarakat lebih akrab dengan istilah karitas (charity) yang juga
berasal dari bahasa Yunani. Istilah filantropi, secara leksikal, berasal dari
bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia).
Filantropi, karenanya, mengandung arti cinta manusia. Istilah ini juga
mereferensi pengalaman masyarakat Barat pada abad ke delapan belas, ketika
negara dan individu mulai mengasumsikan adanya tanggung jawab untuk
memperdulikan kaum lemah. Singkatnya, defenisi filantropi yang akar katanya ”loving
People” saat ini telah bergeser menjadi satu tindakan filantropik yang
beorientasi pada ”tujuan-tujuan publik”. Payton, Profesor di bidang studi
filantropik, telah mengkonstruksi suatu defenisi operasional (working
defenition) dari filantropi sebagai ”voluntary action for the public good”.
D.
Filantropi Dalam Islam
Filantropi
Islam terdiri dari zakat, infak dan sedekah (ZIS) dan wakaf. Dalam ajaran
Islam, ZIS mengandung pengertian yang sama, yaitu berderma. Dalam ayat 60,
surat al-Maidah, misalnya, tidak mengintrodusir istilah zakat, tetapi shadaqah.
Namun, pada tataran diskursus penggunaan istilah Zakat, Infak dan Sedekah
mengandung makna yang spesifik. Zakat acap diartikan sebagai membelanjakan
(mengeluarkan) harta yang sifatnya wajib dan salah satu rukun Islam serta
berdasarkan perhitungan yang tertentu. Infak acap merujuk kepada pemberian yang
bukan zakat, yang kadangkala jumlahnya lebih besar dari zakat. Biasanya
dimaksudkan untuk kepentingan fii sabilillah, dalam arti sarana,
misalnya, bantuan untuk masjid, madrasah, pondok Pesantren, rumah sakit.
Secara
sederhana, bantuan yang dikeluarkan untuk lembaga keumatan umat tersebut masuk
kategori infak. Sedangkan, sedekah biasanya derma yang kecil-kecil jumlahnya
yang diserahkan kepada orang miskin, pengemis, pengamen dan lain-lain. Berbeda
dengan zakat, baik infak maupun sedekah keduanya adalah sunnah. Singkatnya,
konsep kedermawanan (filantropi) dalam Islam dikenal dengan istilah seperti sadaqoh
dan zakat. Di dalam perintah berderma tersebut terkandung ideal kemurahan hati,
keadilan sosial, saling berbagi dan saling memperkuat.
Studi PBB
mencatat bahwa potensi dana umat dari sektor zakat, infak dan sedekah yang
mungkin digali mencapai 19.3 triliun rupiah per tahun. Angka ini diperoleh dari
rata-rata sumbangan keluarga Muslim per tahun sebesar 409.267 rupiah dalam
bentuk tunai (cash) dan 148.200 rupiah dalam bentuk barang (in kind).
Jika jumlah rata-rata sum-bangan ini dikalikan dengan jumlah keluarga Muslim di
Indonesia sebesar 34,5 juta (data BPS tahun 2000), maka total dana yang dapat
dikumpulkan mencapai 14,2 triliun. Sementara total sumbangan dalam bentuk
barang sebesar 5,1 triliun rupiah. Sayangnya, potensi dana yang besar itu belum
tergali dan terkelola secara baik. Dengan ujaran lain aspek manajemen dan
akuntabilitas merupakan prioritas untuk dikembangkan.
E. Tantangan
Organisasi Filantropi Islam
Peluang yang besar di hadapan
lembaga-lembaga filantropi Islam ternyata belum bisa sepenuhnya dioptimalkan.
Beberapa kendala kurang optimalnya kemampuan organisasi filantropi Islam ada
pada keterbatasan sumberdaya internal organisasi, pilihan strategi yang dipilih
serta adanya keterbatasan pada kemampuan dan kapasitas organisasi dalam
mensosialisasikan diri dan mengkampanyekan programnya lebih luas.
Perkembangan
terakhir, menunjukan secara perlahan organisasi-organisasi filantropi Islam
mulai berbenah. Mereka secara sistem mulai meningkatkan sumberdaya manusianya
baik dengan membuat semacam “sekolah internal’ maupun dengan menyekolahkan SDM
yang ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Saat yang sama,
organisasi-organisasi filantropi Islam juga mulai memperbaiki sistem organissai
internal mereka. Terbukti sejumlah lembaga kini mulai mengadopsi sistem ISO
untuk sejumlah keperluan lembaga mereka.
Selain itu,
pola komunikasi dan sosialisasi ke publik pun dari hari ke hari terus mengalami
peningkatan, baik dalam konteks kampanye program maupun dalam hal sosialisasi
sejumlah perubahan dan kebijakan internal lembaga mereka. Di luar itu,
ditingkatkan pula sejumlah kebijakan penting di masing-masing organisasi
filantropi islam hal-hal yang menyangkut mekanisme pengawasan untuk menjamin
akuntabilitas dan transparansi publik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa organisasi islam di Indonesia
lahir dari sikap nasionalisme masyarakat yang tinggi, menimbulkan perkembangan
dilapangan pendidikan dan pengajaran kemudian melahirkan lembaga-lembaga formal
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh pendidikan islam dilengkapi dengan sistem
dan isinya.
Maka dapat
disimpulkan bahwa Organisasi Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia yang
berskala Nasional ada 6, yaitu:
1.
Al-Jami’at Al Khairiyah
2.
Al-Islah Wal Irsyad
3.
Persyerikatan Ulama
4.
Persatuan Islam
5.
Muhammadiyah
6.
Nahdatul Ulama
B.
Kritik dan Saran
Demikian
makalah yang bisa kami sampaikan, makalah ini pasatinya jauh dari kesempurnaan,
tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan kami. Dengan tangan terbuka dan
lapang dada kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dengan rendah hati kami
akan mendengar saran, guna mengevaluasi makalah ini, semoga makalah ini memberi
manfaat bagi kita. Amin…..
DAFTAR PUSTAKA
v
Dra. Zuhairini dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, cet 11, Bumi Aksara, jakarta, 2011.
v
Dr. H. Fatah Syukur NC. M.Ag.Sejarah
Pendidikan Islam, cet1, Pustaka Rizki Putra, Semarang,2012.
KATA
PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah
Makalah ini disusun berdasarkan sumber-sumber ilmu
pendidikan yang berlaku secara nasional. Oleh karena itu, dengan makalah ini
diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga pembaca.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
kekurangan baik menyangkut isi maupun penulisan. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih. Mudah-mudahan
makalah ini dapat memberikan manfaat.Amin.
Penyusun
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.
Latar
belakang...................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. 2
C.
Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Lahirnya Organisasi Islam di Indonesia ..................... 2
B.
Organisasi
Islam di Indonesia dan Perannya Dalam Pendidikan
Bangsa ................................................................................................ 3
C.
Tantangan
Organisasi Islam ................................................................. 11
D.
Filantropi
Dalam Islam ........................................................................ 13
E.
Tantangan
Organisasi Filantropi Islam ................................................ 14
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
.......................................................................................... 15
B.
Saran..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... iii
|
No comments:
Post a Comment