BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Sasaran
pendidikan adalah manusia, oleh karena itu seorang pendidik haruslah memiliki
gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Manusia adalah mahluk
Tuhan yang paling sempurna yang memiliki ciri khas yang secara prinsipiil
bereda dari hewan.
Ciri khas
manusia yang membedakan dengan hewan ialah hakikat manusia. Disebut hakikat
manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki manusia dan tidak
dimiliki hewan.
Dengan
pemahaman yang jelas tentang hakikat manusia maka seorang pendidik diharapan
dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam bersikap,
menyusun strategi, metode, dan teknik.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud sifat hakekat
manusia?
2.
Apa saja yang di sebut sebagai dimensi
hakekat manusia?
3.
Bagaimana mengembangkan dimensi hakekat
manusia?
4.
Bagaimanakah sosok gambaran manusia
seutuhnya?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
dasar-dasar pendidikan.
2.
Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat
hakikat manusia
3.
Untuk memhami dimensi-dimensi hakikat manusia
4.
Untuk memahami bagaimana pengembangan dimensi
hakikat manusia
5.
Untuk mengenal sosok manusia seutuhnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Sifat
hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil
membedakan manusia dengan hewan meskipun antara manusia dan hewan banyak
kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Kesamaan secara biologis
ini misalnya adanya kesamaan bentuk (misalnya kera), bertulang belakang seperti
manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan
menyusui anak, pemakan segalanya, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia.
Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu zoon
politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia
sebagai das kranke tieri (hewan yang sakit) (Drijakara, 1962:138).
Kenyataan
dalam pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa
manusia dan hewan hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang
melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena
perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran
rekayasa pendidikan, orang hutan, misalnya, dapat dijadikan manusia. Upaya
manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia
telah ditemukan. Charles Darwin dengan teori evolusinya telah berjuang untuk
menemukan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi temuannya ini ternyata gagal.
Ada misteri yang dianggap menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia
yang tidak sanggup diungkapkan yang disebut the missing link, yaitu
suatu mata rantai yang putus. Ada suatu proses antara yang tak dapat
dijelaskan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia
muncul sebagai bentuk ubah dari primata atau kera melalui proses evolusi yang
bersifat gradual.
B. Wujud Sifat Hakikat Manusia
Ada
beberapa wujud sifat hakikat manusia yang yang tidak dimiliki oleh hewan. Wujud
sifat hakikat manusia ini dikemukakan oleh paham eksistensialisme dengan maksud
menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu:
1. Kemampuan
Menyadari Diri
Kaum Rasionalis
menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari
diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan itu, manusia menyadari
bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas. Hal ini menyebabkan manusia dapat
membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan yang bukan
aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan. Lebih dari
itu manusia dapat membuat jarak dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi
maupun nonpribadi. Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda.
Kedua arah yang terdapat dalam bagan di atas di dalam pendidikan
perlu untuk dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan
pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan
aspek individualitas manusia.
Yang
lebih istimewa adalah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak dengan
dirinya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa yang
menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk
menyempurnakan diri. Si aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan
sebagai subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat
kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat
pada dirinya. Pada saat demikian, seorang aku dapat berperan ganda yaitu
sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Hal inilah yang disebut dengan
pendidikan diri sendiri atau oleh Langeveld disebut self forming.
2. Kemampuan
Bereksistensi Diri
Selain memiliki
kemampuan menyadari diri, manusia juga memiliki kemampuan bereksistensi.
Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menerobos dan mengatasi batas-batas
yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja yang berkaitan
dengan ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan kata lain, manusia tidak terbelenggu
dengan tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tetapi dapat
menembus ke sana, ke masa depan, atau ke masa lampau. Adanya kemampuan
bereksistensi yang dimiliki oleh manusia tentu saja terdapat unsur kebebasan
pada manusia. Jadi, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di dalam
kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi
(Drijarkara, 1962:61-63). Jika seandainya pada diri manusia itu tidak terdapat
kebebasan atau kemampuan bereksistensi, manusia tidak lebih dari hanya sekedar
esensi belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada”
atau “bereksistensi”. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan.
Peserta didik perlu diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar
mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan
dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak kanak-kanak.
3. Pemilikan
Kata Hati
Kata
hati (conscience of man) juga sering disebut dengan istilah hati
nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dsb. Conscience bermakna
pengertian yang ikut serta atau pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia
memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang
telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya bagi manusia sebagai manusia.
Pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan
pada diri manusia yang memberikan penerangan tentang baik buruk perbuatannya
sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk
mengambil keputusan tentang baik dan benar, buruk dan salah, ataupun kemampuan
dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya
sudut kepentingan diri) dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi,
kriteria baik-benar, buruk-salah harus dikaitkan dengan baik-benar atau
buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dapat disimpulkan bahwa kata hati
adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik-benar dan yang buruk-salah
bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral (perbuatan), kata
hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati
yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan
forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan elatih akal kecerdasan dan
kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat)
yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4. Moral
Moral merupakan
suatu perbuatan yang menyertai kata hati. Dengan kata lain, moral adalah
perbuatan itu sendiri. Kadangkala antara moral dan hati masih terdapat jarak.
Artinya, seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu
perbuatannya itu merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri. Berarti dalam
hal ini diperlukan kemauan untuk menjembatani jarak di antara
keduanya. Yang dimaksud dengan kemauan adalah kemauan yang sesuai
dengan kodrat manusia. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang
sinkron dengan kata hati yang tajam adalah moral yang benar-benar baik bagi
manusia. Sebaliknya, moral yang yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam
disebut dengan moral yang buruk sehingga orang yang melakukan moral yang buruk
ini disebut orang yang tak bermoral. Moral disebut juga dengan etika.
Selain etika, juga terdapat kata yang pengertiannya sering disamakan oleh
orang, yaitu etiket. Sebenarnya, antara etika dan etiket tidakla sama.
etika tidak hanya berkaitan dengan perbuatan yang baik/benar, tetapi juga
salah/buruk, sedangkan etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun.
Dengan demikian, berdasarkan perbedaan pengertian antara etika dan etiket,
dapat dikatakan bahwa orang yang etiketnya tinggi (bersopan santun) bisa
jadi moralnya rendah. Berkaitan dengan moral ini, dalam suatu pembelajaran,
peserta didik perlu diajarkan moral-moral-moral yang baik. Jika ini tidak
dilakukan, dunia pendidikan kita akan menghasilkan kaum intelektual yang tak
bermoral.
5. Kemampuan
Bertanggung Jawab
Tanggung
jawab berarti keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itu perbuatan itu dilakukan
sehingga sanksi apa pun yang dituntut oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh
norma-norma agama diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini
menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
6. Rasa
Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas
(tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia. Dalam pernyataan ini sebenarnya ada dua hal yang saling bertentangan
yaitu rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia”. Meskipun antara
rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” ini bertentangan,
tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka adalah rasa bebas, tetapi
kebebasan tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan kodrat manusia. Orang
tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan petunjuk dari kata hati. Jika hal
ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut dengan kebebasan semu. Kebebasan
semu segera diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru
mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuh
berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Di sini
terlihat bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.
7. Kebiasaan
Melaksanakan Kewajiban Dan Menyadari Hak
Kewajiban dan hak
adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai
makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu, tentu ada
pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Selanjutnya kewajiban
ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu
adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu itu ada,
belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum).
Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak sering
diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang
sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu keniscayaan
(Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia,
kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya ia
mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu dilaksanakan,
hal tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya keluhuran dari melaksanakan
kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi
yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang
lain, dsb. Implementasi dari perbuatan ini adalah orang akan merasa dikhianati,
kecewa, dan akhirnya tumbuh sikap tidak percaya. Kewajiban bukanlah suatu
ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan berarti apa yang
diwajibkan menusia menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerima. Namun,
terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia
boleh memilih dengan konsekuensi jika taat, akan meningkat martabatnya sebagai
manusia, dan jika melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti
realisasi hak dan kewajiban ini sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi
dan kondisi. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal
keadilan. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak
sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi
oleh situasi dan kondisi, hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita,
aspirasi, atau harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha
untuk menciptakan keadilan.
8. Kemampuan
Menghayati Kebahagian
Hampir semua
orang merasakan kebahagiaan. Pengertian kebahagiaan sebenarnya tak mudah
dijabarkan meskipun mudah dirasakan. Terdapat beberapa kata yang bersinonim
dengan kebahagiaan, misalnya senang dan gembira. sebagian orang mungkin
menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira
dikatakan sedang mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi mengaanggap bahwa rasa
senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan sebab sifatnya lebih permanen
daripada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain,
kebahagian lebih merupakan integrasi atau rentetang dari sejumlah kesenangan.
Malah ada yang lebih jauh lagi berpendapat tidak cukup digambarkan sebagai
himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari
itu yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan
dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses
integrasi dari semuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang
disebut “bahagia”. Peliknya persoalan mungkin juga karena kebahagian itu lebih
dapat dirasakan daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati kebahagiaan,
aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa kebahagiaan itu sifatnya rasional padahal kebahgiaan yang tampaknya
didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian karena aspek kepribadian
yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan. Bukankan seseorang hanya
mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi
objek rasa bahagianya itu. juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak
beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini jelas
bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar dan
aspek rasa. Berarti dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak
terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya,
ataupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan
menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut
di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Menurut
hemat penulis, konsep kebahagiaan seperti yang disebutkan ini tampaknya dapat
diterima. Kebahagiaan pada dasarnya akan dapat dirasakan seseorang jika orang
tersebut dapat mengahayati suatu objek yang membuat dia bahagia. Objek ini
sebenarnya tidak hanya terbatas pada suatu hal baik yang dialami oleh
seseorang, tetapi juga pada suatu hal yang tidak baik. Sebagai contoh, sebuah
keluarga yang yang kemampuan ekonominya pas-pasan akan dapat merasakan
kebahagiaan jika ia menghayati kemiskinan yang dialaminya. Tidak sedikit orang
yang hidupnya miskin merasa tidak bahagia karena mereka tidak menghayati
kebahagiaan itu. Barangkali konsep “menghayati” ini sama dengan “bersyukur”
jika dikaitkan dengan agama. Selanjutnya apakah seseorang yang terlihat senang
dapat dikategorikan sebagai orang yang bahagia. Tampaknya pendapata ini tak
dapat dibenarkan seratus persen. Adakalanya orang yang terlihat senang
sebenarnya tidak bahagia. Kesenangan yang terlihat padanya hanya merupakan
manipulasi terhadap orang lain. Ia barangkali tidak ingin orang lain tahu bahwa
dirinya menderita. Dengan demikian, untuk menutup penderitaannya itu, ia
memperlihatkan kepada orang lain bahwa dirinya senang. Di atas telah disebutkan
bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara
faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang diakibatkannya,
tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa
dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu
usaha, norma-norma, dan takdir. Apakah yang dimaksud dengan usaha, norma,
dan takdir? Perhatikan bagan berikut ini.
C. Dimensi-dimensi Kepribadian Mansia
1. Dimensi
Keindividualan
Dikatakan
oleh Lyson bahwa individu adalah orang seorang, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya
individu diartikan juga sebagai sebagai pribadi (Lysen, Individu dan
Masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya
telah memiliki potensi. Potensi yang dimaksud menurut penulis seperti yang
dikemukakan oleh Gardner. Ia menyatakan bahwa manusia memiliki tujuh
kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan
spasial, kecerdasan kinestik tubuh, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan intra personal (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Kecerdasan-kecerdasan ini
yang selanjutnya kita sebut sebagai potensi tentu saja tidak sama dimiliki oleh
setiap individu. Ada individu yang memiliki kelebihan dalam hal kebahasaan,
tetapi kurang pintar dalam hal musik, ada individu yang lebih pintar
matematika, tetapi tidak pintar tentang kebahasaan. Oleh karena itu, setiap
individu tidak boleh diperlakukan sama. Mereka ingin terlihat berbeda dengan
yang lain atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang
identik di muka bumi ini.
Penulis
sangat setuju dengan dimensi keindividualan seperti yang telah diungkapkan
di atas. Memang benar bahwa tidak ada manusia yang identik dengan manusia
lain di atas permukaan bumi ini. Bahkan, anak yang terlahir kembar pun
pada hakikatnya tidak memiliki karakter yang persis sama. Dengan kata lain,
masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri. Kekhasan yang dimaksud
ini seperti kekhasan dalam cita-cita, cara belajar, cara menghadapi dan
menyelesaikan masalah, cara berinteraksi dengan orang lain. Karena adanya
kekhasan yang dimiliki oleh setiap manusia ini, dalam proses pembelajaran
kekhasan ini tentu harus diperhatikan oleh peserta didik. Tenaga pendidik tidak
dapat boleh memaksakan kehendaknya kepada kepada subjek didik.
Menurut
penulis, memang usaha untuk memperhatikan peserta didik berdasarkan kekhasan
yang dimilikinya merupakan usaha yang baik. Akan tetapi, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana cara mengimplementasikan hal ini dalam
pembelajaran? Sebagai contoh, apa yang harus dilakukan terhadap anak didik yang
tidak suka pelajaran bahasa Indonesia saat materi bahasa Indonesia diajarkan
oleh tenaga pendidik? Apakah anak didik tersebut diminta oleh gurunya untuk
keluar atau diam saja? Pertanyaan seperti ini tampaknya sering dihadapi oleh
peserta didik. Contoh lain disebutkan, misalnya, anak didik memiliki berbagai
gaya belajar. Ada anak didik yang mudah belajar kalau hanya dengan berdiskusi
bersama-teman-teman-teman sekelas, ada anak didik yang mudah belajar hanya
dengan mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya, ada anak didik yang
mudah belajar dengan cara langsung mempraktikkan, ada pula anak didik yang
mudah belajar hanya dengan membaca buku. Bagaimanakah gaya belajar yang
bervariasi ini dapat diatasi oleh pendidik dalam suatu proses pembelajaran? Hal
seperti ini tampaknya perlu untuk dikaji secara spesifik
2.
Dimensi Kesosialan
Setiap
anak yang dilahirkan memiliki potensi sosialitas. Artinya, mereka dikaruniai
benih kemungkinan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul ini,
setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut
sehingga penjara merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh setiap
manusia karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya
dorongan bergaul itu secara mutlak.
3. Dimensi
Kesusilaan
Susila
berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang
lebih tinggi. Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup
hany dengan berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu
terkandung kejahatan terselubung. Oleh karena itu, pengertian susila berkembang
sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa
ilmiah sering digunakan sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi
berbeda yaitu etiket (persoalan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang berbuat jahat berarti melanggar
hak orang lain dan dikatakan tidak beretika dan tidak bermoral, sedangkan tidak
sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain
yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan
ketidaksenangan orang lain.
Susila
sebenarnya mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan
erat dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai otonom,
nilai heteronom, nilai keagamaan.
Dalam
kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran
dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Dalam
pelaksanaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.
4. Dimensi
Keberagamaan
Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan kebutuhan
manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat
bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan
bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama
melalui proses pendidikan manusia. Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai
dengan perguruan tinggi.
D. Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
1. Pengembangan
dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi
hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang
disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya.
2. Pengembangan
yang Tidak Utuh Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat
manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi
hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani.
E. Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya
Pengertian
sosok manusia Indonesia seutuhnya ini adalah perpaduan antara aspek jasmani dan
rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan,
antara aspek kognitif, afektif, psikomotor (Tirta Raharja dan Sulo, 42006:25). Pengertian tentang sosok
manusia Indonesia seutuhnya ini tampaknya sejalan dengan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat
berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, 2003:7).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemikiran
pendidikan sejak dulu kini dan masa yang akan datang terus berkembang.
Hasil-hasil dari pemikiran itu disebut aliran atau gerakan baru dalam
pendidikan. Aliran atau gerakan tersebut mempengaruhi pendidikan di seluruh
dunia, termasuk pendidikan di Indonesia. Dari sisi lain, Indonesia juga muncul
gagasan-gagasan tentang pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai pendidikan
yaitu taman siswa dan INS kayu tanam.
Kajian tentang
berbagai aliran atau gerakan pendidikan itu akan memberikan pengetahuan dan
wawasan historis kepada tenaga kependidikan. 444Hal itu sangat penting, agar
para pendidik dapat memahami dan pada gilirannya kelak dapat memberkan
konstribusi terhadap dinamika pendidikan itu dan yang tidak kalah pentingnya
adalah bahwa dengan pengetahuan dan wawasan historis tersebut setiap tenaga
kependidikan diharapkan memiliki bekal yang memadahi dalam meninjau berbagai
masalah yang dihadapi serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan
atau tindakan sehari hari.
B.
Kritik
dan saran
Dalam
pembuatan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak mengalami kekurangan
dan kekeliruan baik dalam penyusunan maupun dalam penyajian materi yang kami
sampiakan. Sehubungan dari itu semua kami mengharapkan kritik dan saran demi
perbaikan makalah ini dan kami ucapkan terima kasih
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat
yang diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu penulis
dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motivasi dan
dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.
Bengkulu, Juni 2014
Penyusun
|
||||
|
MAKALAH
DASAR-DASAR PENDIDIKAN
HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA
No comments:
Post a Comment