Sunday 26 June 2016

Makalah Aliran-aliran Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara saru daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran pendidikan.
Gagasan dan peaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun dimasa depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan. Seiring dengan perkembangan sosial budaya dan perkembangan iptek. Pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan pendidikan itu disebut aliran-aliran pendidikan. Seperti dalam bidang-bidang lainnya, pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung seprti suatu diskusi berkepanjangan yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu ditanggapi dengan pro dan kontra oleh pemikiran-pemikiran berikutnya, dan karena dialog tersebut akan melahirkan lagi pemikiran-pemikiran baru, dan demikian seterusnya. Agar diskusi kepanjangan itu itu dapat diikuti dan dipahami, makaberbagai aspek dari aliran-aliran tersebut harus dipahami terlebih dahulu. Oleh karena itu, setiap calon tenaga kependidikan, utamanya calon pakar kepeendidikan, harus memahami berbagai aliran-aliran itu agar dapat menangkap makna setiap gerak dinamika pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu.
Pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran penting dalam pendidikan akan membekali tenaga kependidikan dengan wawasan kesejarahan, yakni kemampuan memahami kaitan antara pengalaman-pengalaman masa lampau, tuntutan dan kebutuhan masa kini, serta perkiraan  atau antisipasi masa datang. Wawasan historis tersebut, dapat berperan sebagai penangkal terhadap kemungkinan kekeliruan kebijakan masa kini yang dapat berakibat bencana di masa depan. Aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Oleh karena itu pada makalah ini akan disajikan mengenai aliran klasik dalam pendidikan dan beberapa gerakan baru yang pengaruhnya masih terasa hingga kini serta dua aliran pokok pendidikan di Indonesia.


B.     Rumusan Masalah
1.         Apa saja aliran aliran pendidikan di Indonesia Dan pengaruhnya terhadap pemikiran pendidikan di indonesia?

C.     Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.         Untuk mengetahui aliran Aliran pendidikan klasik di Indonesia dan pengaruhnya terhadap pemikiran pendidikan di indonesia
2.         Untuk memenuhi tugas mata kuliah dasar-dasar pendidikan










BAB II
PEMBAHASAN

A.  Aliran Empirisme
       Tokoh aliran Empirisme adalah John Lock, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh dari lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut aliran ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.[1]
       Misalnya: Suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal.[2]
       Contoh lain, ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Aliran Empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis pandangan ini adalah seorang filsuf inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir didunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab pendidik dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu tentunya yang sesuai tujuan pendidikan.
Aliran empirisme diapndang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan, menurut kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada pada dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. Hal itu tercermin pada pandangan scientifict psychology dari B.F. Skinner ataupun pandangan behavioral (behaviorisme) lainnya. Behaviorisme itu menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku ituterutama sebagai hasil belajar semata-mata. Meskipun demikian, pandangan behavioral ini juga masih bervariasi dalam menentukan faktor apakah yang paling utama dalam proses belajar itu sebagai berikut;
1.      Pandangan yang menekankan peranan stimulus (rangsangan) terhadap perilaku seperti dalam “classical conditioning” atau “respondent learning” oleh Ivan Pavlov (1849-1936) di Rusia dan Jon B.Watson (1878-1958) di Amerika Serikat.
2.        Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari sesuatu perilaku seperti dalam “operant conditioning” atau “instrumental learning” dari Edward L.Thorndike (1874-1949) dan Burrhus F.Skinner (1904-) di Amerika Serikat.
3.        Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi seperti dalam “observational learning” yang diperoleh oleh N.E.Miller dan J.Dollard dengan “social learning and imitation dan dikembangkan lebih lanjut oleh A. Bandura dengan” participant modeling”(1976) maupun dengan “self-efficacy”(1982) [3]

B.  Aliran Nativisme
       Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
       Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Coba simak cerita tentang anak manusia yang hidup di bawah asuhan serigala. la bernama Robinson Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang ganas. la tetap hidup dan berkembang atas bantuan air susu serigala sebagai induknya. Serigala itu memberi Crussoe makanan se-suai selera serigala sampai dewasa. Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun membantah teori Nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu telah membuktikan bahwa lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.
Aliran Nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Hasil pendidikan tergantungpada pembawaan, dimana menurut Schopenhauer (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri. Istilah nativisme dari asal kata natie yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan buruk dan baik ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar. [4]
            Meskipun dalam kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan. Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni bahwa dalam diri individu terdapat suatu “inti” pribadi (G.Leibnitz:Monad) yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Pandangan-pandangan tersebut tampak antara lain humanistic psychology dari Carl R.Rogers ataupun pandangan phenomenology/humanistik lainnya. meskipun pandangan ini mengakui pentingnya belajar, namun pengalaman dalam belajar itu ataupun penerimaan dan persepsi seseorang banyak ditentukan oleh kemampuan memberi makna kepada apa yang dialaminya itu. Dengan kata lain, pengalaman belajar ditentukan oleh “internal frame of reference” yang dimilikinya. Pendekatan ini sangat mementingkan pandangan holistik (menyeluruh), serta pemahaman perilaku orang dari sudut pandang si empunya perilaku itu. Terdapat variasi pendapat dari pendekatan phenomenology/humanistik tersebut (Milhollan dan Forisha, 1972: 81-123, et.al,1987:267-197) sebagai berikut: [5]
1.      Pendekatan aktualisasi diri atau non-direktif (client centered) dari Carl R.Rogers dan Abraham Maslow.
2.             Pendekatan “personal Construct” dari George A.Kelly yang menekankan betapa pentingnya memahami hubungan “transaksional” antar manusia dan lingkungannya sebagai bekal awal memahami perilakunya (Ivey et al, 1987;144 dan 154)
3.             Pendekatan “Gestalt”, baik yang klasik (Max Wertheimer dan Wolgang Kphler) maupun pengembangan selanjutnya (K.Lewin dan F.Perls).
4.             Pendekatan “Search for Meaning” dengan aplikasinya sebagai ‘Logotherapy’ dari Viktor Franki yang mengungkapkan betapa pentingnya semangat untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi.
Pendekatan-pendekatan tersebut diatas tetap menekankan betapa pentingnya “inti” privasi atau jati diri manusia.

C.  Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. la adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Naturalisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme.
Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah aliran naturalisme yang dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan Schopenhauer, Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan buruk. Pembawaan baik anak akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan. Rousseau juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Yang dilaksanakan adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan itu. J.J Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas. Ia mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaanya, kemampuan-kemampuannya, dan kecenderungan-kecenderungannya. Pendidikan harus dijauhkan dalam perkembangan anak karena hal itu berarti dapat menjauhkan anak dari segala hal yang bersifat dibuat-buat dan dapat membawa anak kembali ke alam untuk mempertahankan segala yang baik. Seperti diketahui, gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat ini tidak terbukti malahan terbukti sebaliknya : pendidikan makin lama makin diperlukan.[6]

D.  Aliran Konvergensi
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939) seorang ahli pendidikan bangsa jerman yang berpendapat bahwa seorang anak laki-laki dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu. Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata, adalah juga hasil konvergensi. Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya, anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu, tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya, misal bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan sebagainya. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan situasi lingkungan, biarpun lingkungan kedua orang anak tersebut menggunakan bahasa yang sama. William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, sekan-akan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan.
Karena itu teori W.Stern disebut teori konvergensi (konvergensi artinya memusat kesatu titik). Jadi menurut teori konvergensi:
1.      Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan
2.      Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
3.      Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu. Seperti telah dikemukakan bahwa variasi-variasi itu tercermin antara lain dalam perbedaan pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku manusia, seperti strategi disposisional/konstitusional, strategi behavioral, strategi phenomenologis /humanistik, dan sebagainya.
Demikian pula halnya belajar mengajar; variasi pendapat itu telah menyebabkan munculnya berbagai teori belajar atau teori model mengajar. Sebagai contoh dikenal berbagai pendapat tentang model behavioral ( model belajar tuntas, model belajar simulasi), rumpun model pemrosesan informasi ( model mengajar inkuiri, model pengembangan berfikir) dan lainnya.[7]

E.  Aliran Progresivisme
       Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
       Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh ke-cerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya.
       Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.

F.   Aliran Esensialisme
       Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisans.[8]
       Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan Amos Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut sebagai pengajaran.
       Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke-satuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
       Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman Renaisans.


G. Aliran Perenialisme
       Tokoh aliran Perenialisme adalah Plato, Aris-toteles, dan Thomas Aquino. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini.
Pada awalnya, peserta didik diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih tinggi seperti berlogika, retorika, dan bahasa.

H.  Aliran Konstruktivisme
       Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. la mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997: 24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33).
Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004: 24).
       Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.[9]




BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Pemikiran pendidikan sejak dulu kini dan masa yang akan datang terus berkembang. Hasil-hasil dari pemikiran itu disebut aliran atau gerakan baru dalam pendidikan. Aliran atau gerakan tersebut mempengaruhi pendidikan di seluruh dunia, termasuk pendidikan di Indonesia. Dari sisi lain, Indonesia juga muncul gagasan-gagasan tentang pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai pendidikan yaitu taman siswa dan INS kayu tanam.
Kajian tentang berbagai aliran atau gerakan pendidikan itu akan memberikan pengetahuan dan wawasan historis kepada tenaga kependidikan. Hal itu sangat penting, agar para pendidik dapat memahami dan pada gilirannya kelak dapat memberkan konstribusi terhadap dinamika pendidikan itu dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan dan wawasan historis tersebut setiap tenaga kependidikan diharapkan memiliki bekal yang memadahi dalam meninjau berbagai masalah yang dihadapi serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan atau tindakan sehari hari.

B.                  Kritik dan saran
Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak mengalami kekurangan dan kekeliruan baik dalam penyusunan maupun dalam penyajian materi yang kami sampiakan. Sehubungan dari itu semua kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini dan kami ucapkan terima kasih

KATA PENGANTAR


      Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Aliran-aliran Pendidikan” tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu,     Juni 2014


Penyusun







i
 



1 comment:

  1. Sands Casino and Resort, Las Vegas - SEGAS
    Discover the wonders of Las 샌즈카지노 Vegas on The Strip, one of 메리트 카지노 only a handful of hotels on the Las Vegas 1xbet Strip. Enjoy modern accommodations, world-class

    ReplyDelete