BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam
perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik,
letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru
masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama
Islam di Indonesia.
Lembaga
Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk
pesantren (Sarijo, 1980; Dhofier, 1982). Dengan karaktemya yang khas
"religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar
pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman
tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan
Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Eksistensi Madrasah
2.
Problem Madrasah
3. Pengelolaan Madrasah
4. Peran masyarakat dalam meningkatkan mutu Madrasah
5. Pendidikan Di Madrasah
Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
A. Eksistensi Madrasah
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding
pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum
Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh
Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998).
Madrasah
berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam
yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi
tiga hal, yaitu: (Karl Sternbrink : 1986)
1. Usaha menyempumakan sistem
pendidikan pesantren,
2. Penyesuaian dengan sistem
pendidikan Barat, dan
3. Upaya menjembatani antara sistem
pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah
dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa
eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping
itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif
bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun
kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998).
Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB
tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu
pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau
pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
B. Problema
Madrasah
Sebagai
upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai
problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in (1998),
antara lain:
1. Madrasah telah kehilangan akar
sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren,
meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam
pertama di Indonesia.
2. Terdapat dualisme pemaknaan
terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena
memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi
lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian
dikenal dengan madrasah diniyah.
Dengan
demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati
diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya.
Efek pensejajaran madrasah
dengan sekolah umum yang berakibat berkurangnya proporsi pendidikan agama dari
60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan
yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang muncul
kemudian, antara lain:
1. Berkurangnya muatan materi
pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama,
karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim
sejati, apalagi kemudian dikurangi.
2. Tamatan Madrasah serba tanggung.
Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.
Diakui
bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan
dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah
menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini
tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada
keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu
agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan
Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para
pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.
Dualisme
pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga
swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah
dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang
memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali
akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan
prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya
lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf
pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga
ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang
terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya.
Praktek
manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni
model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini
terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai
sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada
ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau
mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab.
Dualisme
pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh
departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen
Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan
Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak
di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian,
pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan
guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang
diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan madrasah (Depag).
Kesenjangan
antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah
yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti
pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang
kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu
pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum
diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait
(Malik Fadjar, 1998).
C. Pengelolaan
Madrasah
Persepsi
masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan
madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang
pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan di
saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan
madrasah tampak makin dibutuhkan orang. (Haedar
Nashir, 1999)
Terlepas
dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem
seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya,
maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan
aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah',
madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model
pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern
untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri
dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring
dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model
pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat
fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren,
madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan
inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para
santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang
dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids,
kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada
pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu
mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model
pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan
putra-putrinya pada lingkungan yang baik
(agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren
tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok
Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri
konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat.
Ma'had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat
kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran
masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari
negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam.
Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah
memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Model-model
pondok pesantren modern seperti itu, kini telah bermunculan di berbagai daerah.
Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal misalnya, juga ada pondok pesantren
"Darul Amanah" yang mengutamakan penguasaan bahasa asing yakni Bahasa
Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang didirikan oleh para alumni Pondok
Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada tahun 1990 itu telah menampung sekitar
1300 santri (siswa).
Melihat
kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa
cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di
luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu
banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil
maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di
luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap
menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku
dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang
menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam
(Al-Abrasyi, 1970; Jalaluddin dan Said,
1996).
Realitas
menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan
disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya
gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan
membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah)
yang menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal
menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi
pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti
luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan
cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu
indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari
sistem pendidikan nasional.
Pendidikan
moral yang dilaksanakan melalui berbagai cara baik kurikuler (Pendidikan
Nasional dan Ketahanan Nasional atau PPKN) maupun ko kurikuler (Penataran P-4)
telah melahirkan elit politik yang tidak mampu tampil sebagai uswatun hasanah
(teladan yang baik) bahkan memberikan kesan korup dan membodohi rakyat.
Kegiatan penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan
Pancasila) tidak lebih dari aktivitas ceremonial karakteristik. Disebut
demikian karena kegiatan tersebut telah meloloskan para juara dari peserta yang
paling mampu menghafal buku pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan
mereka yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas cermat P-4
berlomba-lomba menghafal butir-butir Pancasila tanpa berusaha melaksanakannya
di dalam kehidupan nyata. Itulah di antara faktor yang mempengaruhi turunnya
moralitas bangsa ini (Dradjat, 1971).
Setelah
kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela, orang baru bangun dan sadar
bahwa pendidikan moral yang selama ini dilakukan lebih berorientasi pada
pendidikan politik pembenaran terhadap segala pemaknaan yang lahir atas restu
regim yang berkuasa. Upaya pembinaan moral yang bertujuan meningkatkan harkat
dan martabat manusia sesuai dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam
perundang-undangan telah dikesampingkan dan menjadi jauh dari harapan.
Keberhasilan
pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956)
yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga
domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan
output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya,
anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan
Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik,
maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain
halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai
raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan
perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang
menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan
out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan
"Madrasah", kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang
mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat dipisahkan.
Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak
siswanya (Al-Abrasyi, 1970; Abdullah,
1994).
Itulah nilai plus madrasah dibandingkan
sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).
D. Peran
Masyarakat dalam Peningkatan Kualitas Madrasah
Munculnya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan yang
bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh
keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada
masyarakat, tidak mengagetkan para pengelola madrasah. Madrasah juga lebih
survive dalam kondisi perubahan kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan
madrasah tidak taklid kepada kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan
kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang
dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka madrasah mendapatkan
angin segar untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya tanpa intervensi
pemerintah pusat dalam upaya mencapai peningkatan mutu pendidikannya. Melalui
proses belajar mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal, kurikulum tidak
terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan
bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang
tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai sehingga
menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi.
Adapun
meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan menyebabkan para pengelola
madrasah memfokuskan pada program-program tambahan sebagai sarana meningkatkan
kualitas pendidikan. Program remidial dan kursus untuk meningkatkan
perkembangan kognitif, sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan rendah
dalam taraf perekonomian dan hasil belajar merupakan program-program
kompensasi, bukan untuk menggantikan program-program yang ada.
Sebagai
lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah
mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi pendidikan, sehingga
dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi dengan
keterlibatan yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi
terbatas seperti peranan orang tua siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di
tempat anaknya sekolah. Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada
kepemilikan lingkungan.
Sesuai
dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat
dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut
untuk memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan yang
berada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang
tinggi dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol
manajemen, pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan
eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat.
Akhirnya
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk
masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua.
Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi
peningkatan mutunya maka madrasah perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan.
E. Pendidikan Di
Madrasah Sebagai Sub Sistem
Pendidikan Nasional
Jika berbicara masalah Problematika pendidikan, maka
tentu banyak hal yang perlu kita luruskan. Mewakili masalah-msalah itu
setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar permasalahan. Pertama,
ditinjau dari sisi filsafat keilmuan yang menegaskan kembali dalam mengkaji
apapun tidak bisa lepas dari aspek ontologi (sumber ilmu), epistemologi (cara
dan metode dalam mengembangkan ilmu), serta aksiologi (cara memanfaatkan ilmu).
Ontologi barat memandang bahwa sumber ilmu berasal dari akal, fenomena sosial
dan fenomena alam. Seperti pandangan Aristoteles dan John Locke mereka
beranggapan manusia mulai mempelajari ilmu pengetahuan setelah ia terlahir
didunia, sehingga semua ilmu yang didapat menjadi subjek dan konstruk sosial.
Menurut Islam sumber ilmu tidak hanya berasal dari akal, sosial dan alam tetapi
juga mengandung unsur wahyu. Epistemolgi barat memandang bahwa yang dinamakan
ilmu hanyalah yang dihasilkan berdasrkan riset empiris, eksperimen dan logika
bebas sehingga menghasilkan ilmu sosial, sains dan filsafat. Berbeda dengan
Islam yang melihat antara hal-hal yang bersifat fisik dan metafisik memiliki
hubungan erat. Aksiologi barat memandang bahwa ilmu adalah netral, oleh
karenanya ilmu bisa digunakan sesuai dengan kehendak manusia. Islam beranggapan
ilmu dalam segi ontologi dan epsitemologi bersifat netral, tetapi dari segi
penggunaannya harus didasarkan pada petunjuk Tuhan.
Kedua, ditinjau dari sisi
Psikologi Pendidikan. Secara umum, ada tiga mazhab pendekatan psikologi dalam
belajar: Pertama, mazhab yang berangkat dari teori-teori yang mengatakan
manusia pada dasarnya dilahrikan jahat. Seperti teori Sigmund Freud yang
disebut dengan pemikiran pesimistik. Kedua, mazhab yang
mengatakan bahwa manusia pada dasarnya dilahrikan netral, bak “tabula rasa”
atau kertas putih. Sehingga lingkunganlah yang membentuk seprti pemikiran
Skinner yang disebut pemikiran deterministik. Ketiga, mazhab yang
mengatakan bahwa manusia dilahrikan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar
bebas dan bertanggung jawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari
dalam dirinya sendiri. Teori mazhab ini seperti pandangan Abraham Mazlow dan
Carl Rogers yang dikenal aliran optimistik. Dari tiga mazhab ini tentu
memiliki implikasi yang berbeda dengan cara pandang Islam yang melihat manusia
secara utuh. Sedangkan psikologi barat hanya memandang apa yang nampak. Bisa
disimpulkan bahwa corak berfikir barat nampak didominasi oleh intelektualitas,
namun dalam ranah spirtiualitasnya lemah.
Ketiga, ditinjau dari sisi
problematika modern. Modernisasi memang bisa memberikan dampak positif bagi
siapapun yang siap menghadapinya namun bagi yang tidak siap akan menerima
dampak negatif. Banyak problem-problem yang dihadapi sebagai tantangan dunia
pendidikan khusunya pendidikan Islam di era modern ini disebabkan oleh
modernnitas.
Ahmad Tafsir, menjelaskan kegagalan sistem pendidikan
nasional kita adalah ada ketidaksesuaian antara Pancasila dan UUD 1945 dengan
UU Nomor 20/2003. UUD 45 harus menurunkan seluruh nilai yang ada didalam
Pancasila. Nilai pertama dan yang paling utama dalam Pancasila adalah Ketuhanan
YME dan nilai ini adalah core Pancasila. Nilai ini turun dengan sempurna
dalam UUD 45 dengan bukti ungkapan “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa”.
Jadi core UUD 45 adalah Ketuhanan YME. Namun yang agak disayangkan core
itu tidak turun secara sempurna ke dalam UU Nomor 20/2003 yang berbunyi bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, beakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal ini menurut Tafsir masih belum secara konkrit
menyatakan keimanan menjadi inti pendidikan nasional. Sehingga inilah yang
menjadi pokok permasalahan dan akibatnya parah sekali; keimanan tidak menjadi
inti kurikulum sekolah, selanjutnya pelaksanaan pendidikan disekolah tidak
mejnajdikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan daln
lebih jauh lulusan sekolah kita tidak memiliki keimanan yang kuat.
Tetapi setidak-tidaknya telah nampak bahwa UU Sisdiknas menjadi penengah
sehingga, ada integrasi interkoneksi antara pendidikan Islam dengan pendidikan
nasional yang tercermin dalam beberapa hal: Pertama, pendidikan nasional
menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur
dan jenis pendidikan. Kedua, dalam pendidikan nasional, pendididikan
agama Islam dengan sendirinya dimasukkan ke dalam jalur sekolah. Ketiga,
meskipun pendidikan agama Islam sudah diberi status pendidikan sekolah, tetapi
sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan
agama Islam memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syari’ah. Pada jurusan ini
70% muatan kurikulumnya adalah bidang-bidang studi agama.
Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan pendidikan
yang Islami menjadi pendidikan
yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini maka
orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan
penerangan jiwa, sehingga setiap manusia mampu meningkatkan dirinya dari
tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk
kerja kemanusiannya (amal saleh). Dengan demikian pendidikan yang Islami tidak
lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat
menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia,
masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek
kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai-nilai ilahiyah yang
transcendental.
Sehingga, sebagai subsistem pendidikan nasional,
pendidikan Islam bisa menjalankan tujuan khusus yang harus dicapai, dan
tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan
nasional secara keseluruhan yang menjadi suprasistennya. Visi
pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional. Visi
pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang takwa dan
produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka. Sedangkan misi
pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai
keIslaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang
dicita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif. Hal ini sejalan dengan trend
kehidupan era modern, agama dan intelek akan saling bertemu. Dengan misi
tersebut pendidikan Islam menjadi pendidikan alternatif dengan memiliki ciri khas yaitu pendidikan Islam ingin
mengejawantakan nilai-nilai keIslaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah
dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa
eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping
itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif
bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun
kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998).
Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB
tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu
pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau
pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
B. Saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis sadar masih jauh dari kesempurnaan dan masih
terdapat banyak kekurangan, baik dalam materinya, bahasa yang tidak baku maupun
penyampaian isi makalah. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan dan
menghargai kritik dan saran dari pembaca
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,
Bulan Bintang.
Bloom, B.5. (1956). Toxomony of Educational Objectives, the
Classification of Educational Goals, Hand Book I: Cogniti Domain. New York: Long mans,
Green and Co.
Dradjat, Z. (1971). Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Darmuin
(1998). Prospek Pendidikan Islam di
Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah. Dalam Chabib Thoha dan
Abdul Muth'i. PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar
Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan
Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang.
Dhofier,
Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta:
LP3ES.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Penyusun Panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
Salawat beserta
salam penyusun sampaikan kepada Reformator dunia yaitu Baginda Rasulullah SAW
yang telah menghijrahkan umatnya minal kufri ilal iman, kecintaannya kepada
umat melebihi cintanya pada dirinya sendiri..
Akhirnya dengan
segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan-
kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu
pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh karena itu, kritik dan
saran yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dimasa yang akan datang.
Penyusun juga
berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita semua. Amin
Ya Rabbal ‘Alami
Penulis
|
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Penyusun Panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
Salawat beserta
salam penyusun sampaikan kepada Reformator dunia yaitu Baginda Rasulullah SAW
yang telah menghijrahkan umatnya minal kufri ilal iman, kecintaannya kepada
umat melebihi cintanya pada dirinya sendiri..
Akhirnya dengan
segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan-
kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu
pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh karena itu, kritik dan
saran yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dimasa yang akan datang.
Penyusun juga
berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita semua. Amin
Ya Rabbal ‘Alami
Penulis
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
6.
Eksistensi Madrasah ..................................................................................... 2
7.
Problem Madrasah ........................................................................................ 4
8. Pengelolaan Madrasah................................................................................... 5
9. Peran masyarakat dalam meningkatkan mutu Madrasah............................... 9
10. Pendidikan Di Madrasah
Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional ........... 10
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan.................................................................................................... 14
- Kritik dan Saran ............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. i
|
No comments:
Post a Comment