Sunday 26 June 2016

Makalah Transformasi sistem Pendidikan Pesantren



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indo­nesia sebagaimana menjadi kesepakatan para peneliti sejarah pendidikan di negeri yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini. Pada mulanya pesantren didirikan oleh para penyebar Islam sehingga kehadiran pesantren diyakini mengiringi dakwah Islam di negeri ini, kendati bentuk sistem pendidikannya belum selengkap pesantren sekarang. Pada dataran substantif pesantren telah berdiri pada awal masa Islam di Indonesia, tetapi pada dataran bentuk mengalami perubahan yang sangat signifikan.
Perbedaan persepsi para ahli tentang keberadaan pesantren sebenarnya lebih dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Bagi mereka yang mengamati pesantren dari segi substansinya, akan cenderung mene­gaskan bahwa pesantren itu lahirnya beriringan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sedangkan bagi mereka yang mengamatinya dari param­eter pesantren yang ada sekarang ini tentu memandang kehadiran pesantren barn saja pada abad belakangan ini.

B. Tujuan
  Tujuan Pembuatan makalah ini adalah agar penulis dan pembaca dapat mengerti dan memahami apa itu Transformasi sistem Pendidikan Pesantren

C. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas penulis dapat menarik rumusan masalah yang akan diangkat dalam pembahasan makalah ini yaitu : Transformasi sistem Pendidikan Pesantren

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Sistem Pendidikan Independen
Baik dalam pandangan kelompok pertama maupun kedua, pesantren memiliki karakteristik tertentu. Setidaknya karakter itu tidak dimiliki sistem pendidikan lainnya, tetapi pesantren juga mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Keadaan ini oleh Abdurrah­man Wahid disebut dengan istilah subkultur.
Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur:
1) Pola kepemim­pinan pesantren yang mandiri, tidlak terkooptasi oleh  negara;
2)  Kitab­ - kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad; Dan
3) Sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masya­rakat luas[1]
Tiga elemen tersebut menjadi ciri yang menonjol selama ini. Pesantren baru mungkin bermunculan dengan ticlak menghilangkan tiga elemen itu, kendati juga membawa elemen-elemen lainnya yang merupakan satu kesatuan dalam sistem pendidikannya. Sistem pen­didikan pesantren terdiri dari berbagai unsur (subsistem) yang semuanya memilM kaftan fungsional, tak terpisahkan untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Masing-masing unsur memiliki fungsi tertentu, yang tidak bisa diabaikan sama sekali. Kekurangan satu unsur saja akan menjadi kendala bagi proses pendidikan dan langsung berpengaruh pada pencapaian tujuannya.
Secara esensial, sistem pendidikan pesantren yang dianggap khas ternyata bukan sesuatu yang baru jika dibandingkan sistem pendidikan sebelumnya. I.P. Simanjutak menegaskan bahwa masuknya Islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil. Perubahan yang terjadi sejak pengembangan Islam hanyalah menyangkut isi agama yang clipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, dan Tatar belakang para santri.[2] Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal merupakan hasil adaptasi dari pola-pola pendidikan yang telah ada di kalangan masya­rakat Hindu-Budha sebelumnya. jika ini benar, ada relevansinya dengan suatu statement bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lo­kal.
Model pendidikan agama Jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk asrama dengan rumah guru yang disebut Ki­ajar di tengah-tengahnya. Sistem pendidikan ini diambil dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam Pengambilan model meniru dan mengganti ini juga terjadi dalam sistem pewayangan. Budaya Jawa yang terbungkus dalam bentuk keseman ini konon berasal dari buku Ramayana clan Mahabarata dengan beberapa modifikasi atau penambahan tokoh-tokoh pemeran dan isi-isi pesannya diarahkan mengemban misi Islam.
Bagi para penyiar Islam, wadah sesuatu budaya bisa diadaptasi selama masih dipandang positif. Namun, persoalan isi menjadi perhatian utama yang tidak boleh mengalami adaptasi maupun kom­promi dengan isi ajaran agama lainnya, terutama ketika konsepnya bertentangan. Strategi ini bisa berfungsi menjaga kesinambungan tradisi yang berkembang di masyarakat mengingat pendekatan dalam berdakwah yang ditempuh mereka adalah pendekatan adaptif-selektif, bukan konfrontatif. Hal-hal yang balk masih perlu dipertahankan sedangkan yang jelek dihapuskan selanjutnya digantikan sesuatu yang barn yang baik.
Proses adaptasi sistem pendidikan pesantren itulah yang menguat­kan penilaian selama ini bahwa pendidikan pesantren disebut sistem pendidikan produk Indonesia. Nurcholish Madjid menyebut dengan istilah indegenous (pendidikan asli Indonesia).[3] Sistem pendidikan asli Indonesia ini pernah menganut dan memiliki daya tawar yang tinggi sebagai antitesis terhadap sistem pendidikan Belanda. Karel A. Steen-brink mengungkapkan bahwa pada 1930-an, sistem pesantren yang Bering disebut sistem pendidikan asli Indonesia dapat menyaingi pendi­dikan Barat yang materialis dan bertujuan mempersiapkan tenaga untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat dan untuk mencari uang.[4]
Pada perkembangan berikutnya, sentimen politik dan sentimen agama dari kalangan Muslim Indonesia turut Berta mengokohkan sikap resistensi yang begitu kuat terhadap sistem pendidikan yang ditawarkan Belanda. Sebagaimana telah menjadi pemahaman bersama bahwa Belanda datang ke Indonesia adalah untuk kepentingan penjajahan dan penyebaran agama Kristen. Bisa dibayangkan implikasi berikutnya, kalangan Muslim adalah merupakan lapisan masyarakat yang paling dirugikan. Mereka tertekan secara politis dan secara religius. Akibatnya mereka menolak segala sesuatu yang berbau Belanda termasuk sistem pendidikan yang ditawarkannya.
Jadi sistem pendidikan pesantren independen memungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk kurikulum maupun situasi pembelajaran tertentu. Namun kenyataannya, sistem pendidikan yang independen itu di pesantren justru menimbulkan berbagai kelemahan dan sedang menghadapi tantangan-tantangan baru.

B.     Tantangan-Tantangan Multidimensional
Perkembangan sains-teknologi, penyebaran arus informasi dan perjumpaan budaya dapat menggiring kecenderungan masyarakat untuk berpikir rasional, bersikap inklusif dan berperilaku adaptif Mereka semacam dihadapkan pada pilihan-pilihan baru yang menarik dan cukup menggoda untuk mengikutinya. Terlebih lagi pilihan-pilihan baru itu selalu dikemas dengan istilah yang mengandung nuansa propa­ganda kendatipun dalam taraf tertentu bisa dibenarkan seperti efektif­efisien, kemajuan, pencerahan, pembaruan, dan sebagainya.
Masyarakat sekarang begitu intens menjumpai perubahan-perubah­an baik menyangkut pola pikir, pola hidup, kebutuhan sehari-hari hingga proyeksi kehidupan di masa depan. Kondisi demikian ini tentu sangat berpengaruh secara signifikan terhadap standart kehidupan masyarakat. Mereka, mau tidak mau, senantiasa berusaha berpikir dan bersikap progresif Sebagai respons terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Bentuk respons ini selanjutnya yang perlu dipertimbangkan oleh kalangan pesantren.
Sekarang ini kecenderungan masyarakat telah berubah padahal output pesantren tidak banyak berubah. Pokok permasalahannya bu­kan terletak pada potensi santri lulusan pesantren yang tidak pandai, melainkan pergeseran ukuran. Sekarang ini yang menjadi ukuran dalam masyarakat adalah masalah yang menyangkut wawasan social, organisasi modern, pluralisme keilmuan dan sebagainya. Masalah-masalah ini pada masa lampau tidak pernah diperhitungkan sama sekali di dalam materi pendidikan pesantren.[5] Kim pesantren menghadapi tantangan barn, yaitu tantangan pembangunan, kemajuan, pembaharuan, serta tantangan keterbukaan dan globalisasi.[6]

Pesantren tidak bisa bersikap isolatif dalam menghadapi tantangan­tantangan tersebut. Respons yang positif adalah dengan memberikan alternatif-alternatif yang berorientasi pada pemberdayaan santri dalam menghadapi era global yang membawa persoalan-persoalan makin kompleks Sekarang ini. Sebaliknya, respons yang tidak kondusif seperti bersikap isolatif pada masa penjajahan dulu justru menjadikan pesantren kelewat konservatif yang tidak memberikan keuntungan bagi kemajuan dan pembaharuan pesantren.
Pengalaman dalam menentukan strategi pada masa lampau itu seharusnya dijadikan pelajaran untuk memilih strategi yang memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan. Evaluasi secara objektif terhadap langkah-langkah yang pernah ditempuh selama ini sepatutnya menjadi keniscayaan dan menjadi bagian integral dari sistem manajerial pesantren. Dengan begitu, segala langkah masa lalu yang tidak strategic perlu dikoreksi secara total, sementara langkah yang positif-konstruktif tetap dipertahankan dan berupaya ditingkatkan. Sikap ini juga menyangkut penentuan sistem pendidikan yang dilaksanakan pesantren.
Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren harus selalu me­lakukan upaya rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive.[7]Bahkan, lebih lanjut pesantren harus mampu mewujudkan sistem pendidikan sinergik. Yakni sistem yang memadukan akir-tradisi dan modernitas. Jika strategi ini mampu dilaksanakan, hubungan pendidikan pesantren dengan dunia kerja industrial bisa bersambung.[8]
Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan yang berat akibat dari perubahan global tersebut pesantren dituntut memiliki tiga kemam­puan:
1) Kemampuan untuk survive (bertahan hidup) di tengah-tengah perubahan clan persaingan yang terus bergulir;
2) Kemampuan untuk meningkatan kualitas kehidupannya (rohaniah clan jasmaniah); dan
3) Kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan
zaman yang terus berubah.[9]
 Sementara itu, menurut Azyumardi Azra,pesantren diharapkan bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga mampu mengembangkan diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.[10] Lebih dari itu, pesantren diharapkan mampu memberikan sumbangan dan berfungsi sekarang pada pengembangan modal dasar rohaniah dalam pembangunan nasional .[11]
Untuk mewujudkan semua idealisms itu setidaknya kalangan pesantren perlu melakukan transformasi sistem pendidikan pesantren yang lebih adaptif daripada sebelumnya, yaitu suatu sistem pendidikan yang senantiasa mempertimbangkan sistem pendidikan lainnya yang dipandang positif untuk diintegrasikannya.

C.    Sistem Pendidikan Adaptif
Adanya perubahan zaman yang begitu cepat menyadarkan kalangan pesantren untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberi manfaat bagi kelangsungan clan pengembangan pendidikan Islam tertua ini menurut persepsi masing-masing pengasuh. Apapun bentuk tindakan, reaksi maupun respons yang ditempuh kiai tetap merupakan pilihan rerbaik baginya, terlepas adanya penilaian yang negatif dari pihak lain
Oleh karena itu, pesantren terpolarisasikan ketika menghadapi frubahan zaman itu. Ada pesantren yang bersikap lunak dan ada yang keras. Ada pesantren yang terbuka, dan ada yang tertutup. Ada rang mengidentifikasikan zaman sekarang `zaman edan' atau jahiliah modern', tetapi tidak sedikit yang mencoba melakukan transformasi.[12] Dengan pengertian lain menurut Abdurrahman Wahid, ada yang menutup diri dari perkembangan umum masyarakat 'luar', tetapi adayang justru mengoptimasilasaikan proses penciptaan solidaritas yang kuat antara pesntren dengan masyarakat [13]
Kelemahan lainnya lagi adalah timbulnya orientasi ekonomis di kalangan pesantren yang bisa mengurangi kadar keikhlasan santri ketika belajar di pesantren. Para santri boleh jadi mengharap memperoleh ijazah sebagai "tiket" untuk memperoleh kedudukan atau pekerjaan tertentu di masa depan seperti yang terjadi pada siswa-siswa sekolah pada umumnya.
Persoalan-persoalan ini merupakan segi-segi kelemahan dari sis­tem pendidikan pesantren yang mengadaptasi sistem pendidikan for­mal. Sistem ini juga memiliki kelebihan-kelebihan pada segi-segi lain­nya. Bahkan salah satu sub-sistem pendidikan pesantren belakangan ini mulai dilirik berbagai kalangan sebagai model pendidikan alternatif yang berwawasan masa depan dan menjamin kepribadian.

D.          Pengaruh Sistem Pendidikan Pesantren Terhadap Sekolah Elit
Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai melalui parameter modernisasi selalu dipandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang tanggap terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Tetapi, belakangan ini ada aspek tertentu yang secara jujur diakui sebagai kelebihan pesantren. Pesantren adalah sistem pendidikan yang tumbuh dan lahir darikultur Indonesia yang bersifat indigenous. Lembaga inilah yang dilirik kembali sebagai model dasar pengembangan konsep pendidikan (baru) Indonesia.[14]  Pesantren dengan demikian mulai diperhatikan dari multi perspektif sehingga tidak selalu dinilai negatif Ada segi-segi kelemahan sistem pendidikan pesantren sehingga harus dikritik, tetapi ada juga kelebihan-kelebihan tertentu yang perlu ditiru bahkan dikembangkan. Meskipun tidak ada pengakuan secara eksplisit dari Para pakar pendidikan di Indonesia, karakter budaya pendidikan pesantren telah diadopsi ke dalam sistem pendidikan nasional. Gejala ini terlihat jelas, pada kemunculan 'sekolah-sekolah unggul' atau boarding school sejak tiga dasawarsa terakhir.[15] Sekarang ini sudah banyak bermunculan sekolah unggulan yang menerapkan `sistem pesantren' meskipur dibungkus dengan nama lain seperti boarding school, sekolah internal atau lainnya.[16] Jika boarding school (sekolah berasrama umum) meng­adopsi pendidikan pesantren secara diam-diam, maka Departemen Agama mengembangkannya secara terbuka.[17]
Pondok atau asrama —meskipun dalam batas tertentu ada per­bedaannya secara mendasar— dapat memberikan alternatif dalam proses pembelajaran bila diberdayakan secara optimal, sehingga menjadi kecenderungan sekolah-sekolah unggulan. Kehidupan pondok atau asrama memberikan berbagai manfaat antara lain: interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan kontrol ter­hadap kegiatan murid, pergesekan sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu, menimbulkan stimulasi/rang­sangan belajar, dan memberi kesempatan yang baik bagi pembiasaan sesuatu.
Pada manfaat pemberian kesempatan bagi pembiasaan sesuatu ini, pondok atau asrama terbukti menjadi sasaran yang efektif bagi pene­rapan pembiasaan sesuatu kegiatan seperti pembentukan lingkungan bahasa (biah lughawiyyah). Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)—yang sekarang ini telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)—Malang telah mencoba membangun lingkungan bahasa ini melalui pondok atau asrama meskipun masih juga terdapat kendala­kendala yang dihadapi pengasuh. Tetapi pondok atau asrama itu memberikan kontribusi yang cukup signifikan untuk pembentukan lingkungan bahasa.
Hanya saja, motif pembangunan pondok bagi pesantren dengan
asrama bagi sekolah unggulan cukup berbeda. Menurut akar sejarahnya,
pondok dibangun agar santri tidak jauh-jauh menempuh perjalanan
untuk belajar pada kiai atau agar santri bisa menginap di dekat kiai.
Sedangkan asrama dibangun oleh sekolah unggulan untuk mengefektif‑
kan proses pembelajaran, sehingga menyangkut berbagai komponen
yang terkait. Dengan pengertian lain, jika pondok dibangun lantaran
faktor darurat, maka asrama dibangun atas dasar perencanaan pembela‑
jaran yang matang dengan memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi.
Dengan sistem 24 jam atau sistem pendidikan sepanjang hari
(full-day educational s tem) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran para orang tua lantaran kesibukannya  tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk memberikan perhatian dan kontrol kepada  putra-pqtrinya setelah pulang sekolah.11 Dari sudut pertimbangan   sistem pendidikan pesantren lebih dipercaya orang tua daripada sistem pendidikan formal terutama bagi orang tua karier yang memiliki komitmen tinggi untuk menanamkan akhlak pada putra-putrinya.
Pesantren dinilai mampu membentengi para santri dari pengaruh­pengaruh negatif arus globalisasi yang menghadirkan kebudayaan Barat di tengah-tengah kebudayaan kita.
Pesantren tetap survive dan mampu beradaptasi dengan modernitas pendidikan. Bahkan ketika pendidikan yang cenderung sekuler dinilai gagal, pesantren ditunjuk sebagai lembaga pendidikan alternatif." Kegagalan pendidikan sekuler dilihat dari pembentukan kepribadian. Di kota-kota besar seperti Jakarta hampir setiap sabtu slang terjadi tawuran antar pelajar. Tradisi ini unik sekali mengingat pelajar adalah kelompok yang sedang menjalani pendidikan, sedang tawuran bertentangan dengan jiwa pendidikan itu sendiri. Berbeda dengan pelajar tersebut, santri pesantren tidak pernah tawuran sesama santri dari pesantren lainnya meskipun di Jakarta.
pada dataran pendidikan ini pesantren dinilai sukses. Ada kecen­derungan dari orang tua di kota-kota besar yang tidak mampu lagi mengendalikan dan mengarahkan anak-anaknya dari kenakalan remaja, maka pilihan terbaik baginya adalah mengirimkan anak-anaknya ke pesantren kendatipun di pesantren mereka belum tentu juga mengalami kesadaran sepenuhnya. Sementara itu, pesantren sudah terbiasa mem­bimbing anak-anak yang "bermasalah".
Akan tetapi, barn-barn ini citra pesantren dicemari oleh beberapa orang kalangan pesantren al-Islam Selokuro Paceran yang terlibat pengeboman di Bali seperti Amrozi, Ali Imran, dan Mukhlas maupun menyangkut Abu Bakar Ba'asyir dari pesantren Ngruki Solo. Tetapi kedua pesantren ini adalah khas, dan diperuntukkan bagi santri-santri yang berada dalam kubu Islam garis keras. Dengan kata lain, kedua pesantren tersebut tidak bisa mewakili arus utama (mainstream) pesantren pada umumnya yang berada dalam kubu Islam moderat.[18]
Secara umum pesantren masih diyakini potensial membimbing, menendidik, dan membangun kepribadian para santri untuk menjadi orang Muslim yang benar-benar saleh dan salehah yang memiliki ketahanan cukup kuat dalam menghadapi tantangan dunia global.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa : Pada perkembangannya, sentimen politik dan sentimen agama dari kalangan Muslim Indonesia turut Berta mengokohkan sikap resistensi yang begitu kuat terhadap sistem pendidikan yang ditawarkan Belanda. Sebagaimana telah menjadi pemahaman bersama bahwa Belanda datang ke Indonesia adalah untuk kepentingan penjajahan dan penyebaran agama Kristen. Bisa dibayangkan implikasi berikutnya, kalangan Muslim adalah merupakan lapisan masyarakat yang paling dirugikan. Mereka tertekan secara politis dan secara religius. Akibatnya mereka menolak segala sesuatu yang berbau Belanda termasuk sistem pendidikan yang ditawarkannya.
Jadi sistem pendidikan pesantren independen memungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk kurikulum maupun situasi pembelajaran tertentu. Namun kenyataannya, sistem pendidikan yang independen itu di pesantren justru menimbulkan berbagai kelemahan dan sedang menghadapi tantangan-tantangan baru.

B.        Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam penyusunannya, kata – kata yang belum baku maupun kelengkapan materi. Oleh karena itu besar harapan penulis atas kritik dan saran dari pembaca



KATA PENGANTAR


            Syukur Alhamdulillah Penyusun Panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul     Transformasi sistem Pendidikan Pesantren
            Salawat beserta salam penyusun sampaikan kepada Reformator dunia yaitu Baginda Rasulullah SAW yang telah menghijrahkan umatnya minal kufri ilal iman, kecintaannya kepada umat melebihi cintanya pada dirinya sendiri..
            Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan- kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh karena itu, kritik dan saran yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
            Penyusun juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alami





Penulis







i
 
 
DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ......................................................................................         
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Tujuan............................................................................................................ 1
C.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 1


BAB II PEMBAHASAN
A.    Sistem Pendidikan Independent.................................................................... 2
B.     Tantangan-Tantangan Multidimensional....................................................... 5
C.     Sistem Pendidikan Adaptif........................................................................... 7
D.    Pengaruh Sistem Pendidikan Pesantren Terhadap Sekolah Elit.................... 8


BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan.................................................................................................... 12
  2. Kritik dan Saran ............................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. iii




ii
 
 
DAFTAR PUSTAKA


Mujamil Qomar, Prof. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi: Jakarta, Erlangga.2002

Kafrawi. Pembohoruan Sistem Pendidikon Pondok Pesontren Sebogai Usahc
Peningkoton Prestasi Kerjo don Pembinoon Kesatuan Bangso. Jakarta: Cemarc Indah, 1978.

Ismail, Ibnu Qayyim. Kiai Penghulu Jowo Peranonnya di Moso Koloniol. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Ismail SM., "Pengembangan Pesantren Tradisional' (Sebuah Hipotesis Mengantisipasi Perubahan Sosial)", dolour Ismail SM., Nurul Huda don Abdul Kholiq (eds.). Dinamika Pesontren don Modrosah. Yogyakarta: Kerja sama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002.


iii
 
 


















Penulis





i
 




Dasar –Dasar Pendidikan
   Transformasi sistem Pendidikan Pesantren


[1] Abdurrahman Wahid, "Pondok Pesantren Masa depan", dolour Marzuki Wahid, Suwendi don Soefuddin Zuhri (pent'.), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdoycon don Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 10. Untuk selanjutnya akan disebut Wahid, "Pondok...".
[2] I.P. Simonjutak, Perkembongan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan don Kebudayaan, 1972/1973), h. 20.

[3] Nurcholis Madjid, 1992, Hal 144
[4] Ibid
[5] /Muharom-Shafar 10 18 H, h. 25
[6] Ismail S. Ahmad, Mahfudh, don M. Yoenus Noor, Teologi Sosial Teloah Kritis Pesoolon Agama don Kemonusioon Prof K.H. Ali Yafie, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 25. Untuk selanjutnya akan disebut Ahmad et. al., Teologi.

[7] Suwendi, "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren: Beberapa Catatan", dalam Marzuki Wahid, Suwendi don Saefuddin Zuhri (peny.), Pesantren Masa Depm Wacana Pemberdayaan don Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 216.
[8] Abdul Munir Mulkhan, "Pesantren Perlu Berbenah", Santri, No. 01,Januari 1997 M/Sya'ban-Romadhan 10 17 H, h. 83.

[9] Sholeh, "Pesantren...", hh. 57-58.
[10] Mastuhu, "Kiai...", h. 262.
[12] Abdurrahman, Islam, h. 59.
[13] Wahid, Bunga, h. 50
[14] Seri Monografi Pondok Pesantren don Angkoton Kerjo, (Jakarta: Dirjon Binbago Islam Jakarta, 1985/1986), h. 13
[15] Rahim, Arah, h. I09.
[16] Azra, Pendidikan, h. 100.
[17] M. Ali Haidar, "Pesantren don Tantangan Masa depan Umat', Santri, NE) 03, Maret 1997 M/Syawal-Dzulqaidah 10 17 H, h. 85.

[18] Azro, Pendidikan, h. 102

No comments:

Post a Comment