Saturday 25 June 2016

MAKALAH HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sasaran pendidikan adalah manusia, oleh karena itu seorang pendidik haruslah memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling sempurna yang memiliki ciri khas yang secara prinsipiil bereda dari hewan.
Ciri khas manusia yang membedakan dengan hewan ialah hakikat manusia. Disebut hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki manusia dan tidak dimiliki hewan.
Dengan pemahaman yang jelas tentang hakikat manusia maka seorang pendidik diharapan dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang  dimaksud sifat hakekat manusia?
2.      Apa saja yang di sebut sebagai dimensi hakekat manusia?
3.      Bagaimana mengembangkan dimensi hakekat manusia?
4.      Bagaimanakah sosok gambaran manusia seutuhnya?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah dasar-dasar pendidikan.
2.      Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat hakikat manusia
3.      Untuk memhami dimensi-dimensi hakikat manusia
4.      Untuk memahami bagaimana pengembangan dimensi hakikat manusia
5.      Untuk mengenal sosok manusia seutuhnya


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil membedakan manusia dengan hewan meskipun antara manusia dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Kesamaan secara biologis ini misalnya adanya kesamaan bentuk (misalnya kera), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anak, pemakan segalanya, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu zoon politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai das kranke tieri (hewan yang sakit) (Drijakara, 1962:138).
Kenyataan dalam pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa manusia dan hewan hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan, orang hutan, misalnya, dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan. Charles Darwin dengan teori evolusinya telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi temuannya ini ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia yang tidak sanggup diungkapkan yang disebut the missing link, yaitu suatu mata rantai yang putus. Ada suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primata atau kera melalui proses evolusi yang bersifat gradual.

B.  Wujud Sifat Hakikat Manusia
Ada beberapa wujud sifat hakikat manusia yang yang tidak dimiliki oleh hewan. Wujud sifat hakikat manusia ini dikemukakan oleh paham eksistensialisme dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu:
1.      Kemampuan Menyadari Diri
                         Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan itu, manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan yang bukan aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan. Lebih dari itu manusia dapat membuat jarak dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun nonpribadi. Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda.    Kedua arah yang terdapat dalam bagan di atas di dalam pendidikan perlu untuk dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.
            Yang lebih istimewa adalah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak dengan dirinya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Si aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat demikian, seorang aku dapat berperan ganda yaitu sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Hal inilah yang disebut dengan pendidikan diri sendiri atau oleh Langeveld disebut self forming.


2.      Kemampuan Bereksistensi Diri
                         Selain memiliki kemampuan menyadari diri, manusia juga memiliki kemampuan bereksistensi. Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja yang berkaitan dengan ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan kata lain, manusia tidak terbelenggu dengan tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tetapi dapat menembus ke sana, ke masa depan, atau ke masa lampau. Adanya kemampuan bereksistensi yang dimiliki oleh manusia tentu saja terdapat unsur kebebasan pada manusia. Jadi, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi (Drijarkara, 1962:61-63). Jika seandainya pada diri manusia itu tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, manusia tidak lebih dari hanya sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau “bereksistensi”. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik perlu diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak kanak-kanak.
3.      Pemilikan Kata Hati
            Kata hati (conscience of man) juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dsb. Conscience bermakna pengertian yang ikut serta atau pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya bagi manusia sebagai manusia. Pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberikan penerangan tentang baik buruk perbuatannya sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang baik dan benar, buruk dan salah, ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya sudut kepentingan diri) dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik-benar, buruk-salah harus dikaitkan dengan baik-benar atau buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dapat disimpulkan bahwa kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik-benar dan yang buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan elatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar  orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4.      Moral
                         Moral merupakan suatu perbuatan yang menyertai kata hati. Dengan kata lain, moral adalah perbuatan itu sendiri. Kadangkala antara moral dan hati masih terdapat jarak. Artinya, seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu perbuatannya itu merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri. Berarti dalam hal ini diperlukan kemauan untuk menjembatani jarak di antara keduanya. Yang dimaksud dengan kemauan adalah kemauan yang sesuai dengan kodrat manusia. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam adalah moral yang benar-benar baik bagi manusia. Sebaliknya, moral yang yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam disebut dengan moral yang buruk sehingga orang yang melakukan moral yang buruk ini disebut orang yang tak bermoral. Moral disebut juga dengan etika. Selain etika, juga terdapat kata yang pengertiannya sering disamakan oleh orang, yaitu etiket. Sebenarnya, antara etika dan etiket tidakla sama. etika tidak hanya berkaitan dengan perbuatan yang baik/benar, tetapi juga salah/buruk, sedangkan etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Dengan demikian, berdasarkan perbedaan pengertian antara etika dan etiket, dapat dikatakan  bahwa orang yang etiketnya tinggi (bersopan santun) bisa jadi moralnya rendah. Berkaitan dengan moral ini, dalam suatu pembelajaran, peserta didik perlu diajarkan moral-moral-moral yang baik. Jika ini tidak dilakukan, dunia pendidikan kita akan menghasilkan kaum intelektual yang tak bermoral.
5.      Kemampuan Bertanggung Jawab
           Tanggung jawab berarti keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itu perbuatan itu dilakukan sehingga sanksi apa pun yang dituntut oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
6.      Rasa Kebebasan
             Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini sebenarnya ada dua hal yang saling bertentangan yaitu rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia”. Meskipun antara rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” ini bertentangan, tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka adalah rasa bebas, tetapi kebebasan tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan kodrat manusia. Orang tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan petunjuk dari kata hati. Jika hal ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut dengan kebebasan semu. Kebebasan semu segera diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuh berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Di sini terlihat  bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.


7.      Kebiasaan Melaksanakan Kewajiban Dan Menyadari Hak
                         Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu, tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Selanjutnya kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu keniscayaan (Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia, kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya ia mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu dilaksanakan, hal tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dsb. Implementasi dari perbuatan ini adalah orang akan merasa dikhianati, kecewa, dan akhirnya tumbuh sikap tidak percaya. Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerima. Namun, terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia boleh memilih dengan konsekuensi jika taat, akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan kewajiban ini sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi, atau harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan keadilan.
8.      Kemampuan Menghayati Kebahagian
                         Hampir semua orang merasakan kebahagiaan. Pengertian kebahagiaan sebenarnya tak mudah dijabarkan meskipun mudah dirasakan. Terdapat beberapa kata yang bersinonim dengan kebahagiaan, misalnya senang dan gembira. sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira dikatakan sedang mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi mengaanggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan sebab sifatnya lebih permanen daripada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagian lebih merupakan integrasi atau rentetang dari sejumlah kesenangan. Malah ada yang lebih jauh lagi berpendapat tidak cukup digambarkan sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari semuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”. Peliknya persoalan mungkin juga karena kebahagian itu lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu, dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya rasional padahal kebahgiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian karena aspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan. Bukankan seseorang hanya mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi objek rasa bahagianya itu. juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini jelas bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar dan aspek rasa. Berarti dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Menurut hemat penulis, konsep kebahagiaan seperti yang disebutkan ini tampaknya dapat diterima. Kebahagiaan pada dasarnya akan dapat dirasakan seseorang jika orang tersebut dapat mengahayati suatu objek yang membuat dia bahagia. Objek ini sebenarnya tidak hanya terbatas pada suatu hal baik yang dialami oleh seseorang, tetapi juga pada suatu hal yang tidak baik. Sebagai contoh, sebuah keluarga yang yang kemampuan ekonominya pas-pasan akan dapat merasakan kebahagiaan jika ia menghayati kemiskinan yang dialaminya. Tidak sedikit orang yang hidupnya miskin merasa tidak bahagia karena mereka tidak menghayati kebahagiaan itu. Barangkali konsep “menghayati” ini sama dengan “bersyukur” jika dikaitkan dengan agama. Selanjutnya apakah seseorang yang terlihat senang dapat dikategorikan sebagai orang yang bahagia. Tampaknya pendapata ini tak dapat dibenarkan seratus persen. Adakalanya orang yang terlihat senang sebenarnya tidak bahagia. Kesenangan yang terlihat padanya hanya merupakan manipulasi terhadap orang lain. Ia barangkali tidak ingin orang lain tahu bahwa dirinya menderita. Dengan demikian, untuk menutup penderitaannya itu, ia memperlihatkan kepada orang lain bahwa dirinya senang.  Di atas telah disebutkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Apakah yang dimaksud dengan usaha, norma, dan takdir? Perhatikan bagan berikut ini.
C.  Dimensi-dimensi Kepribadian Mansia
1.      Dimensi Keindividualan
            Dikatakan oleh Lyson bahwa individu adalah orang seorang, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan juga sebagai sebagai pribadi (Lysen, Individu dan Masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya telah memiliki potensi. Potensi yang dimaksud menurut penulis seperti yang dikemukakan oleh Gardner. Ia menyatakan bahwa manusia memiliki tujuh kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestik tubuh, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intra personal (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Kecerdasan-kecerdasan ini yang selanjutnya kita sebut sebagai potensi tentu saja tidak sama dimiliki oleh setiap individu. Ada individu yang memiliki kelebihan dalam hal kebahasaan, tetapi kurang pintar dalam hal musik, ada individu yang lebih pintar matematika, tetapi tidak pintar tentang kebahasaan. Oleh karena itu, setiap individu tidak boleh diperlakukan sama. Mereka ingin terlihat berbeda dengan yang lain atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi ini.
            Penulis sangat setuju dengan dimensi keindividualan seperti yang telah diungkapkan di  atas. Memang benar bahwa tidak ada manusia yang identik dengan manusia lain  di atas permukaan bumi ini. Bahkan, anak yang terlahir kembar pun pada hakikatnya tidak memiliki karakter yang persis sama. Dengan kata lain, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri. Kekhasan yang dimaksud ini seperti kekhasan dalam cita-cita, cara belajar, cara menghadapi dan menyelesaikan masalah, cara berinteraksi dengan orang lain. Karena adanya kekhasan yang dimiliki oleh setiap manusia ini, dalam proses pembelajaran kekhasan ini tentu harus diperhatikan oleh peserta didik. Tenaga pendidik tidak dapat boleh memaksakan kehendaknya kepada kepada subjek didik.
           Menurut penulis, memang usaha untuk memperhatikan peserta didik berdasarkan kekhasan yang dimilikinya merupakan usaha yang baik. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengimplementasikan hal ini dalam pembelajaran? Sebagai contoh, apa yang harus dilakukan terhadap anak didik yang tidak suka pelajaran bahasa Indonesia saat materi bahasa Indonesia diajarkan oleh tenaga pendidik? Apakah anak didik tersebut diminta oleh gurunya untuk keluar atau diam saja? Pertanyaan seperti ini tampaknya sering dihadapi oleh peserta didik. Contoh lain disebutkan, misalnya, anak didik memiliki berbagai gaya belajar. Ada anak didik yang mudah belajar kalau hanya dengan berdiskusi bersama-teman-teman-teman sekelas, ada anak didik yang mudah belajar hanya dengan mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya, ada anak didik yang mudah belajar dengan cara langsung mempraktikkan, ada pula anak didik yang mudah belajar hanya dengan membaca buku. Bagaimanakah gaya belajar yang bervariasi ini dapat diatasi oleh pendidik dalam suatu proses pembelajaran? Hal seperti ini tampaknya perlu untuk dikaji secara spesifik
2.      Dimensi Kesosialan
Setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi sosialitas. Artinya, mereka dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul ini, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga penjara merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh setiap manusia karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul itu secara mutlak.
3.      Dimensi Kesusilaan
            Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup hany dengan berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung kejahatan terselubung. Oleh karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika dan tidak bermoral, sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
            Susila sebenarnya mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai otonom, nilai heteronom, nilai keagamaan.
            Dalam kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Dalam pelaksanaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.
4.      Dimensi Keberagamaan
                         Pada hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan manusia. Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi.




D.  Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
1.      Pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya.
2.      Pengembangan yang Tidak Utuh  Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani.

E.  Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya
       Pengertian sosok manusia Indonesia seutuhnya ini adalah perpaduan antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan, antara aspek kognitif, afektif, psikomotor (Tirta Raharja dan Sulo, 42006:25). Pengertian tentang sosok manusia Indonesia seutuhnya ini tampaknya sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003:7).




BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Pemikiran pendidikan sejak dulu kini dan masa yang akan datang terus berkembang. Hasil-hasil dari pemikiran itu disebut aliran atau gerakan baru dalam pendidikan. Aliran atau gerakan tersebut mempengaruhi pendidikan di seluruh dunia, termasuk pendidikan di Indonesia. Dari sisi lain, Indonesia juga muncul gagasan-gagasan tentang pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai pendidikan yaitu taman siswa dan INS kayu tanam.
Kajian tentang berbagai aliran atau gerakan pendidikan itu akan memberikan pengetahuan dan wawasan historis kepada tenaga kependidikan. 444Hal itu sangat penting, agar para pendidik dapat memahami dan pada gilirannya kelak dapat memberkan konstribusi terhadap dinamika pendidikan itu dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan dan wawasan historis tersebut setiap tenaga kependidikan diharapkan memiliki bekal yang memadahi dalam meninjau berbagai masalah yang dihadapi serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan atau tindakan sehari hari.

B.                  Kritik dan saran
Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak mengalami kekurangan dan kekeliruan baik dalam penyusunan maupun dalam penyajian materi yang kami sampiakan. Sehubungan dari itu semua kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini dan kami ucapkan terima kasih

KATA PENGANTAR


      Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu,     Juni 2014


Penyusun







i
 


i
 

MAKALAH
 DASAR-DASAR PENDIDIKAN
HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA


No comments:

Post a Comment