Sunday 26 June 2016

Makalah Tantangan Organisasi Filantropi Islam


BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah pendidikan islam di Indonesia mulai muncul dan berkembang pada akhir abad ke 19. Ini disebabkan adanya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme sekaligus sebagai respon terhadap kepincangan-kepicangan yang ada dikalangan masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia dengan gigih memperjuangkan serta rela mengorbankan jiwa dan harta melalui organisasi umat islam, mereka menyumbangkan andil besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dari organisasi islam ini ditumbuhkan dan dikembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat melalui pendidikan. 
Organisasi islam itu dimunculkan oleh para tokoh-tokoh islam yang mempunyai kapibilitas keilmuan dan keagamaan yang tak diragukan lagi. Organisasi islam ini juga melahirkan berbagai macam lembaga pendidikan beserta sistem dan isinya.
Untuk itu, makalah ini kami susun adalah untuk mencoba menerangkan sedikit tentang organisasi islam beserta pendidikan islam, serta peranannya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Lahirnya Organisasi Islam di Indonesia
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah pertama diwujudkan dalam bentuk kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara ditempuh pemerintah kolonial waktu itu untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui media pendidikan namun tidak banyak membawa hasil, malahan makin menumbuhkan kesadaran tokoh-tokoh Organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda, dengan cara menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat dengan melalui pendidikan. Dengan sendirinya kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh perasaan nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan dan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Dan dengan demikian lahirlah Perguruan-perguruan Nasional, yang ditopang oleh usaha-usaha swasta (partikelir menurut istilah waktu itu) yang berkembanag pesat sejak awal tahun 1900an.
Para pemimpin pergerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin mengubah keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka insyaf bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-sekolah partikelir (swasta) atas usaha para perintis kemerdekaan. Sekolah sekolah itu semula memiliki dua corak, yaitu:
1.      Sesuai dengan haluan politik, seperti:
a.       Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yogyakarta.
b.      Sekolah Syarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan Komunis.
c.       Ksatrian Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setia Budi) di Bandung.
d.      Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung.
2.      Sesuai dengan tuntunan/ajaran agama (Islam), yaitu:
a.       Sekolah-sekolah serikat Islam
b.      Sekolah-sekolah Muhammadiyah
c.       Sumatera Tawalib di Padang Panjang
d.      Sekolah-sekolah Nahdatul Ulama
e.       Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI)
f.       Sekolah-sekolah Al-Jami’atul Wasliyah
g.      Sekolah-sekolah Al-Irsyad
h.      Sekolah-sekolah Normal Islam
i.        Dan masih banyak sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh organisasi Islam maupun oleh perorangan di berbagai kawasan kepulauan baik dalam bentuk pondok pesantren maupun madrasah.[1]

B.     Organisasi Islam di Indonesia dan Perannya Dalam Pendidikan Bangsa
Organisasi massa Islam yang tumbuh di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan mempunyai andil yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesadaran bangsa Indonesia tentang pentingnya pendidikan ditandai dengan upaya-upaya mereka dalam bidang pendidikan baik melalui organisasi maupun perorangan. Ada beberapa organisasi Islam yang memiliki andil sangat besar dan berpartisipasi dalam pembaharuan di Indonesia. Organisasi itu antara lain Sarekat Islam (SI), Jamiat Khair, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Nahdatul Ulama(NU).[2]
Disamping organisasi Islam yang berskala nasional, masih banyak organisasi-organisasi Islam yang berskala lokal dan juga mempunyai andil besar dalam turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada bagian berikut akan dikhususkan pembahasan tentang organisasi-organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktifitas kependidikan Islam.
1.      Syarikat Dagang Islam
Organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada Tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Timur Asing yang lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi daripada penduduk Indonesia lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran diantara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh.  R.M. Tirtoadisuryo pada tahun  1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910 Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).[3]
2.      Jamiat Khair
Diawali pada tahun 1898, beberapa tokoh dari kalangan masyarakat Arab sepakat untuk membuat suatu perkumpulan yang bertujuan membantu kondisi sosial masyarakat Arab. Berulangkali para tokoh masyarakat Arab mengadakan rapat untuk mewujudkan cita-cita mereka membantu kondisi sosial masyarakat muslim dan rencana mendirikan lembaga pendidikan Islam modern, yang merupakan semangat penolakan mereka terhadap kebijaksanaan kependidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda, sesuai dengan gagasan mufti Betawi sayid Usman bin Abdullah bin Yahya agar ummat Islam membangun suatu lembaga pendidikan agama untuk menangkal Kristenisasi melalui sekolah-sekolah negeri.
Pada tahun 1901 sebagai langkah permulaan beberapa tokoh masyarakat Arab berinisiatif mendirikan sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan berdasarkan Islam, yang diberi nama Jamiat Khair. Berdasarkan permohonan tertanggal 15 Agustus 1903, dengan tujuan organisasi untuk memberikan bantuan kepada orang-orang Arab yang tertimpa musibah kematian dan membantu mereka dalam pelaksanaan perkawinan, kepengurusan perkumpulan Jamiat Khair adalah sebagai berikut:
Ketua : Said bin Ahmad Basandiet
Wakil Ketua : Muhammad bin Abdullah Syahab
Sekretaris : Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur
Bendahara : Idrus bin Ahmad Syahab.[4]
Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ialah :
a.       Pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar.
b.      Pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi.
Sekolah dasar Jam’iat Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung, sejarah(umumnya sejarah islam), ilmu bumi, dan sebagainya. Kurikulum dan jenjang kelas-kelas telah disusun dan terorganisir. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Disamping anak-anak keturunan Arab, anak-anak Indonesia asli juga terdaftar di sekolah ini yang kebanyakan dari Lampung. Bahasa Belanda tidak diajarkan, dan sebagai gantinya bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib.[5]

Tujuan Jamiat Kheir semakin meluas, diantaranya :
a.       Mendirikan dan mengurus gedung-gedung sekolah serta bangunan lain  di Batavia untuk kepentingan umat Islam.
b.      Mengupayakan sekolah-sekolah untuk memperoleh pengetahuan agama,
c.       Mendirikan perpustakaan yang mengupayakan buku-buku untuk menambah pengetahuan dan kecerdasan.[6]
3.      Al-Irsyad
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.[7]
Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru sebagai tempat meminta fatwa ialah Syeikh Ahmad Surkati yang segian besar dari umurnya dicurahkannya bagi penelaahan pengetahuan. Dilahirkan di Dunggala, Sudan pada tahun 1872 dari keluarga yang taat beragama. Banyak mengetahui ayat-ayat Al-Quran ketika masih kecil.
Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerja sama dengan organisasi islam yang lain, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya yang ada di Indonesia. Ia juga turut serta dalam berbagai kongres al Islam pada tahun 1920 an dan bergabung pada Majelis Islam A’la Indonesia ketika federasi ini didirikan pada tahun 1937. pemuda pemuda Indonesia asli juga mempergunakan fasilitas Al-Irsyad dalam bidang pendidikan.
Murid-murid Al-Irsyad, pada tahun-tahun pertama didirikan, terdiri dari anak-anak kalangan Arab dan sebagian juga (walau dalam jumlah yang sangat kecil) anak-anak Indonesia asli dari Sumatra dan Kalimantan. Kemudian lebih banyak laga anak-anak Indonesia yang masuk sekolah itu. Sebagaimana halnya dengan organisasi-organisasi lain, Al-Irsyad juga mempergunakan tablig dan pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan pahamnya, ia juga menerbitkan beberapa buah buku dan pamflet-pamflet. Dengan melalui media masa ini Al-Irsyad menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Masalah-masalah agama yang berasal dari gerakan Al-Irsyad sangat menggemparkan masyarakat Islam, karena bertentangan dengan keyakinan yang ada pada waktu itu.[8]
4.      Persyarikatan Ulama
Persyerikatan ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Cibelerang Majalengka.  Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yng taat beragama (ayahnya seorang penghulu di Jaiwangi), sedangkan saudara-saudaranya mempunyai hubungan yang erat secara kekeluargaan dengan denga orang-orang dari kalangan pemerintahan.
KHA Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun diberbagai pesantren di daerah Majalengka. Kemudian ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Tiga tahun berada di Makkah , ia mengenal tulisan-tulisan Abduh dan Jamaludin Al-Afgani yang merupakan pokok pembicaraan bersama kawan-kawannya yang banyak berasal dari daerah Sumatra. Di Makkah inilah ia pertama kali mengenal KH. Mas Mansyur yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Tetapi KHA Halim tidak merasa bahwa ia banyak ipengaruhi oleh Abduh ataupun Al-Afgani. Dan memang sampai ia meninggal tahun 1962, tetap berpegang teguh pada mazhab Syafi’i.
Enam bulan setelah kembali dari Makkah pada tahun 1991, KHA Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak, baik di bidang ekonomi maupun di bidang pendidikan. Organisasi ini juga bermaksud membantu anggota-anggotanya yang bergerak dibidang perdagangan dan persaingan dengan pedagang-pedagang cina.
Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan pedagang cina yang kadang-kadang menyebabkan perkelahian (perang mulut juga secara fisik) dianggap oleh pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi tersebut dilarang setelah tiga atau empat tahun bergerak. Tetapi kegiatannya terus dilanjutkan walau tidak diberi nama resmi, termasuk kegiatan di bidang ekonomi. Sedang keiatan pendidikan dilanjutkan oleh sebuah organisasi baru yng disebut majlisul Ilmi.
Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang yang bersifat modern. Demikianlah sebuah sekolah dengan nama Jam’iat I’anat al-Muata’alimin didirikan dengan mendapat sambutan yang baik dari guru-guru lain di daerah tersebut.
Organisasi tersbut yang kemudian diganti menjadi Persyerikatan Ulama,  diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S. Cokroaminoto (Pimpinan Serikat Islam). Ia disebut juga Perserikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII), menjadi persatuan Umat Islam(PUI).
Pada tahun 1924 Persyarikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 ke seluruh Indonesia. Persyerikatan ulama ini tetap  merupakan organissi dari majelengka. Organisasi ini juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fatimiyah, bagian wanita dari organisasi tersebut, yang diambil dari nama anak nabi Muhamad SAW yang didirikan pada tahun 1930.
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres Persyerikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajaran-pelajarannya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat masing-masing.
Pendiri persyerikatan ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut perlu juga menitikberatkan pada pembentukan watak. Untuk keperluan ini sebuah tempat yang tenang diuar kota merupakan tempat yang ideal. Kongres menerima usul KHA halim. Suatu keluarga kaya dari ciomas memberikan setumpak tanahnya dipasir ayu, kira-kira 10 km dari majalengka untuk keperluan pelaksanaan cita-cita tersebut. Lembaga ini dinamakan Santi Asrama yang dibagi 3 bagian yaitu: Tingkat permulaan, dasar dan lanjutan.
Persyerikatan ulama sejak mulai berdiri, menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai media penyebar cita-citanya.[9]
5.      Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam (Persis) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok yang berasal dari Sumatra tetapi telah lama tinggal di Bandung. H. Zam-zam ( 1984-1952) menghabiskan waktunya selama tiga tahun masa mudanya di Makkah dimana ia belajar memperdalam agama di lembaga Darul-Ulum. Sekembalinya dari makkah ia menjadi guru di Darul Muta’allimin, sebuah sekolah agama di Bandung, dan mempunyai hubungan erat dengan syekh Ahmad Surkati dari al-Irsyad di jakarta. 
Ia bersama teman dekatnya, H. Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang sama-sama kelahiran Palembang, yang di masa mudanya memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia mampu autodidak melalui kitab-kitab yang jadi perhatiannya.
Topik pembicaraan dalam kenduri itu bermacam-macam misalnya masalah-masalah agama yang kemudian dimuat dalam majalah Al-Munir yang terbit di Padang. Majalah al-manar yang terbit di mesir, pertikaian –pertikain al-irsyad dan jami’at khair di Jakarta dan berbagai persoalan lainnya.
6.      Muhammadiyah
Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkim juga sampai saat sekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Zulhijjah 1330 H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabii Muhammad SAW kepada seluruh penduduk bumi putera” dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Untuk mencapai hal itu organisasi ini bermaksud mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, menertibkan wakaf dan mendirikan masjid-masjid serta menertibkan buku-buku, brosur-brosur surat kabar dan majalah-majalah.
Dalam mengarahkan kegiatan-kegiatannya, organisasi ini dalam tahun-tahun pertama tidak mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara anggota pengurus. Hal ini semata-mata disebabkan oleh ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu sampai sekurang-kurangnya tahun 1917 pada daerah Kauman,Yogyakarta saja. KHA  Dahlan sendiri aktif bertablig, aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti salat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka. Daerah operasi organisasi Muhammadiyah mulai diluaskan setelah tahun 1917. dalam tahun 1927 Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai, sedang pada tahun 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan Makassar.[10]
7.      Nahdhatul Ulama (NU)
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (33 Januari 1926) di Surabaya. Pembangunnya ialah dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur. Di antaranya ialah:
1)      K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng
2)      K.H Abdul Wahab Hasbullah
3)      K.H Bisri Jombang
4)      K.H Ridwan Semarang
5)      K.H Nawawi Pasuruan
6)      K.H.R. Asnawi Kudus
7)      K.H.R Hambali Kudus
8)      K. Nakhrawi Malang
9)      H.Doromuntaha Bangkalan
10)  H.M.Alwi Abdul Azis
11)  Dan lain-lain.[11]
C.    Tantangan Organisasi Islam
     Seiring perjalanan waktu, dinamika kehidupan bangsa pun terus bergerak secara dinamis. Krisis ekonomi yang menerpa Indonesia sejak 1997 serta sejumlah bencana alam yang terjadi membuat sejumlah kalangan prihatin. Keprihatinan ini pun tidak semata-mata prihatin secara pasif. Dari keprihatinan ini justeru menimbulkan semangat untuk bisa berbuat lebih banyak. Di kalangan umat Islam, keprihatinan ini berbuah dan mengerucut untuk membentuk sejumlah wadah untuk bersinergi menolong sesama. Maka, ketika itu sejumlah organisasi filantropi Islam pun muncul untuk menjawab problem sosial ekonomi tersebut. Tidak diragukan, ketika itu muncullah Yayasan Dompet Dhua’fa (YDD) terbentuk karena mengguritanya kemiskinan umat, yaitu kelaparan hebat di Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Juga Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) yang hadir merespon krisis kemanusiaan yang terjadi, termasuk pula adanya pelbagai bencana alam, khususnya banjir dan gempa bumi, yang terjadi di pelbagai wilayah Indonesia.
Kehadiran dan kemunculan lembaga-lembaga filantropi Islam adalah suatu fenomena baru di Indonesia. Selama ini sejumlah lembaga yang ada cenderung bergerak sendiri-sendiri dan bersifat sporadis. Juga dalam skala yang terbatas, baik kapasitas maupun kemampuan coverage-nya. Memang sebelumnya telah ada di sejumlah daerah di Indonesia, namun rata-rata masih bersifat lokal dan dengan manajemen dan sistem yang terbatas. Kehadiran lembaga filantrofi Islam yang bersakala nasional dan massif sangat dibutuhkan untuk memperkuat efektifitas dan kinerja dari terkonsolidasinya semangat masyarakat dalam membantu sesame. Juga sangat diharapkan oleh bangsa ini secara luas, karena walau lembaga ini digawangi sejumlah kalangan muslim, tapi kiprah mereka pada dasarnya non diskriminatif dan berorientasi pada masalah-masalah yang riil diderita dan dialami mereka yang sedang kesulitan, baik karena kesulitan ekonomi atau karena ditimpa bencana.
Pada dasarnya, konsep kedermawanan (Philanthrophy) telah lama dikenal dan dipraktekkan oleh setiap etnik budaya dan komunitas keagamaan di pelbagai belahan dunia. Di Indonesia, istilah philanthropy belum dikenal secara luas, meskipun prakteknya telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia. Bahkan, untuk menggambarkan tindakan berdema di Indonesia, masyarakat lebih akrab dengan istilah karitas (charity) yang juga berasal dari bahasa Yunani. Istilah filantropi, secara leksikal, berasal dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia). Filantropi, karenanya, mengandung arti cinta manusia. Istilah ini juga mereferensi pengalaman masyarakat Barat pada abad ke delapan belas, ketika negara dan individu mulai mengasumsikan adanya tanggung jawab untuk memperdulikan kaum lemah. Singkatnya, defenisi filantropi yang akar katanya ”loving People” saat ini telah bergeser menjadi satu tindakan filantropik yang beorientasi pada ”tujuan-tujuan publik”. Payton, Profesor di bidang studi filantropik, telah mengkonstruksi suatu defenisi operasional (working defenition) dari filantropi sebagai ”voluntary action for the public good”.

D.    Filantropi Dalam Islam
Filantropi Islam terdiri dari zakat, infak dan sedekah (ZIS) dan wakaf. Dalam ajaran Islam, ZIS mengandung pengertian yang sama, yaitu berderma. Dalam ayat 60, surat al-Maidah, misalnya, tidak mengintrodusir istilah zakat, tetapi shadaqah. Namun, pada tataran diskursus penggunaan istilah Zakat, Infak dan Sedekah mengandung makna yang spesifik. Zakat acap diartikan sebagai membelanjakan (mengeluarkan) harta yang sifatnya wajib dan salah satu rukun Islam serta berdasarkan perhitungan yang tertentu. Infak acap merujuk kepada pemberian yang bukan zakat, yang kadangkala jumlahnya lebih besar dari zakat. Biasanya dimaksudkan untuk kepentingan fii sabilillah, dalam arti sarana, misalnya, bantuan untuk masjid, madrasah, pondok Pesantren, rumah sakit.
Secara sederhana, bantuan yang dikeluarkan untuk lembaga keumatan umat tersebut masuk kategori infak. Sedangkan, sedekah biasanya derma yang kecil-kecil jumlahnya yang diserahkan kepada orang miskin, pengemis, pengamen dan lain-lain. Berbeda dengan zakat, baik infak maupun sedekah keduanya adalah sunnah. Singkatnya, konsep kedermawanan (filantropi) dalam Islam dikenal dengan istilah seperti sadaqoh dan zakat. Di dalam perintah berderma tersebut terkandung ideal kemurahan hati, keadilan sosial, saling berbagi dan saling memperkuat.
Studi PBB mencatat bahwa potensi dana umat dari sektor zakat, infak dan sedekah yang mungkin digali mencapai 19.3 triliun rupiah per tahun. Angka ini diperoleh dari rata-rata sumbangan keluarga Muslim per tahun sebesar 409.267 rupiah dalam bentuk tunai (cash) dan 148.200 rupiah dalam bentuk barang (in kind). Jika jumlah rata-rata sum-bangan ini dikalikan dengan jumlah keluarga Muslim di Indonesia sebesar 34,5 juta (data BPS tahun 2000), maka total dana yang dapat dikumpulkan mencapai 14,2 triliun. Sementara total sumbangan dalam bentuk barang sebesar 5,1 triliun rupiah. Sayangnya, potensi dana yang besar itu belum tergali dan terkelola secara baik. Dengan ujaran lain aspek manajemen dan akuntabilitas merupakan prioritas untuk dikembangkan.

E.     Tantangan Organisasi Filantropi Islam
 Peluang yang besar di hadapan lembaga-lembaga filantropi Islam ternyata belum bisa sepenuhnya dioptimalkan. Beberapa kendala kurang optimalnya kemampuan organisasi filantropi Islam ada pada keterbatasan sumberdaya internal organisasi, pilihan strategi yang dipilih serta adanya keterbatasan pada kemampuan dan kapasitas organisasi dalam mensosialisasikan diri dan mengkampanyekan programnya lebih luas.
Perkembangan terakhir, menunjukan secara perlahan organisasi-organisasi filantropi Islam mulai berbenah. Mereka secara sistem mulai meningkatkan sumberdaya manusianya baik dengan membuat semacam “sekolah internal’ maupun dengan menyekolahkan SDM yang ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Saat yang sama, organisasi-organisasi filantropi Islam juga mulai memperbaiki sistem organissai internal mereka. Terbukti sejumlah lembaga kini mulai mengadopsi sistem ISO untuk sejumlah keperluan lembaga mereka.
Selain itu, pola komunikasi dan sosialisasi ke publik pun dari hari ke hari terus mengalami peningkatan, baik dalam konteks kampanye program maupun dalam hal sosialisasi sejumlah perubahan dan kebijakan internal lembaga mereka. Di luar itu, ditingkatkan pula sejumlah kebijakan penting di masing-masing organisasi filantropi islam hal-hal yang menyangkut mekanisme pengawasan untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi publik.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa organisasi islam di Indonesia lahir dari sikap nasionalisme masyarakat yang tinggi, menimbulkan perkembangan dilapangan pendidikan dan pengajaran kemudian melahirkan lembaga-lembaga formal yang dipelopori oleh tokoh-tokoh pendidikan islam dilengkapi dengan sistem dan isinya.
Maka dapat disimpulkan bahwa Organisasi Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia yang berskala Nasional ada 6, yaitu:
1.      Al-Jami’at Al Khairiyah
2.      Al-Islah Wal Irsyad
3.      Persyerikatan Ulama
4.      Persatuan Islam
5.      Muhammadiyah
6.      Nahdatul Ulama

B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah yang bisa kami sampaikan, makalah ini pasatinya jauh dari kesempurnaan, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan kami. Dengan tangan terbuka dan lapang dada kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dengan rendah hati kami akan mendengar saran, guna mengevaluasi makalah ini, semoga makalah ini memberi manfaat bagi kita. Amin…..







DAFTAR PUSTAKA

v  Dra. Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, cet 11, Bumi Aksara, jakarta, 2011.
v  Dr. H. Fatah Syukur NC. M.Ag.Sejarah Pendidikan Islam, cet1, Pustaka Rizki Putra, Semarang,2012.


KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah 
Makalah ini disusun berdasarkan sumber-sumber ilmu pendidikan yang berlaku secara nasional. Oleh karena itu, dengan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga pembaca.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan baik menyangkut isi maupun penulisan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat.Amin.





                                                                                                Penyusun




i
 
 



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................         
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.    Latar belakang...................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.     Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Lahirnya Organisasi Islam di Indonesia ..................... 2
B.    Organisasi Islam di Indonesia dan Perannya Dalam Pendidikan
 Bangsa ................................................................................................ 3
C.    Tantangan Organisasi Islam ................................................................. 11
D.    Filantropi Dalam Islam ........................................................................ 13
E.     Tantangan Organisasi Filantropi Islam ................................................ 14
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan .......................................................................................... 15
B.       Saran..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... iii






ii
 
 

No comments:

Post a Comment