BAB I
PENDAHULUAN
Era pasar bebas, atau yang biasa disebut dengan era
globalisasi sering didengungkan oleh para pemerhati ekonomi sejak beberapa
dekade lalu hingga sekarang ini. Kata “globalisasi” secara populer dapat
diartikan menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh
dunia.
Robertson dalam Globalization:
Social Theory and Global Culture (London, Sage: 1992)
mendefinisikan globalisasi sebagai “the
compression of the world into a single space and the intensification of
conciousness the world as a whole”. Globalisasi juga melahirkan global culture (which) is encompassing
the world at the international level.
Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang
panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan
dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia,
serta pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa
terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi
dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai
budaya.
Terjadinya era globalisasi
memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan.
Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang
seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak
mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka
konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.
Oleh karena itu, tantangan
kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan
kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan
mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi
keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita.
Terjadinya perdagangan
bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi
perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan
melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab
diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat
kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era
pasar bebas yang ketat tersebut.
SDM yang tangguh, menurut Muslimin Nasution (1998), adalah
SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tugas
pendidikan, selain mempersiapkan sumber daya manusia sebagai subjek
perdagangan bebas, juga membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan
perekonomian nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Era Globalisasi
Era globalisasi akan
ditandai dengan persaingan ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya
revolusi teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi industri. Persaingan ini masih dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi
yaitu Jepang dari kawasan Asia, Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Masing-masing menampilkan
keunggulan yang dimiliki. Amerika misalnya unggul dalam product technology, yaitu
teknologi yang menghasilkan barang-barang baru dengan tingkat teknologi
yang tinggi, contoh pembuatan pesawat terbang supersonik, robot, dan
lain-lain.
Jerman dan Jepang
mengandalkan kelebihan mereka dalam process
technology yaitu teknologi yang menghasilkan proses baru dalam
pembuatan suatu jenis produk yang sudah ada, misalnya CD (compact disc) pertama kali
dibuat oleh Belanda kemudian terus disempurnakan oleh Jepang sehingga
menghasilkan CD dengan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih murah. Selain
ketiganya, belakangan muncul Cina sebagai kekuatan baru ekonomi dunia dengan
pertumbuhan ekonominya di atas 9 persen –suatu jumlah tertinggi di dunia.
Kompetisi ekonomi pada era
pasar bebas juga ditandai dengan adanya perjalanan lalu lintas barang, jasa,
modal serta tenaga kerja yang berlangsung secara bebas, kemudian adanya
tuntutan teknologi produksi yang makin lama makin tinggi tingkatannya, sehingga
makin tinggi pula tingkat pendidikan yang dituntut dari para pekerjanya.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kemajuan
teknologi komunikasi menyebabkan tidak adanya jarak dan batasan antara satu
orang dengan orang lain, kelompok satu dengan kelompok lain, serta antara
negara satu dengan negara lain. Komunikasi antar-negara berlangsung sangat
cepat dan mudah. Begitu juga perkembangan informasi lintas dunia dapat dengan
mudah diakses melalui teknologi informasi seperti melalui internet.
Perpindahan uang dan investasi modal oleh pengusaha asing dapat diakukan dalam
hitungan detik.
Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di atas
yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di era globalisasi menuntut setiap
negara untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang
yang mampu membenahi dirinya dengan meningkatkan sumber daya manusianya,
kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam kompetisi sehat tersebut.
Di sinilah pendidikan -- termasuk pendidikan Islam --
diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan para
siswa yang berdaya saing tinggi (qualified)
atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika
globalisasi tersebut.
Dengan demikian, era globalisasi adalah tantangan besar
bagi dunia pendidikan. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan (1999), memerinci
berbagai tantangan pendidikan menghadapi ufuk globalisasi.
Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu
bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan
berkelanjutan (continuing
development ).
Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif
terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari
masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi,
serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas
kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat,
yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif
yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme
baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang
politik dan ekonomi.
Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang
berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan
komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh
ke depan (visioner),
rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang
memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.
Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam
proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan
yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi
teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Pertanyaan selanjutnya,
apakah yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam? Untuk menjawabnya,
agaknya kita perlu menengok kerangka pendidikan Islam dalam konteks
kenasionalan. Sehingga kita bisa menyiapkan strategi yang tepat menghadapi
sebuah tantangan sekaligus peluang tersebut.
Secara kuantitas,
perkembangan jumlah peserta didik pendidikan formal Indonesia mulai dari
tingkat TK hingga jenjang perguruan tinggi (PT) mengalami kemajuan yang cukup
signifikan. Namun secara kualitas masih tertinggal jauh ketimbang negara-negara
lain, baik negara-negara maju, maupun negara-negara anggota ASEAN sekalipun.
Institusi pendidikan Islam dituntut mampu menjamin
kualitas lulusannya sesuai dengan standar kompetensi global --paling tidak
mampu mempersiapkan anak didiknya terjun bersaing dengan para tenaga kerja
asing-- sehingga bisa mengantisipasi membludaknya pengangguran terdidik. Di sini harus diakui, lembaga-lembaga pendidikan Islam
ternyata belum siap menghadapi era pasar bebas. Masih banyak yang harus
dibenahi; apakah sistemnya ataukah orang yang terlibat di dalam sistem
tersebut.
B. Sumber-sumber Kelemahan Bersaing Pendidikan
Pemerintah, sebagai pemegang
kebijakan pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam
mensukseskan program pendidikan. Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan
di Indonesia adalah karena lemahnya politcal
will pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan ini.
Menurut Arief Rahman
(2002), setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di
Indonesia:
1. Titik berat pendidikan pada aspek kognitif
2. Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif,
imajinatif, dan inovatif
3. Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran
4. Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa
5. Kultur mengejar gelar (title)
atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6. Praktik dan teori kurang berimbang
7. Tidak melibatkan semua stake
holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah
8. Profesi guru/ustadz sekedar profesi ilmiah, bukan
kemanusiaan
9. Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya political will pemerintah.
Untuk mengantisipasi
berbagai kelemahan pendidikan tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak.
Tidak hanya institusi pendidikan tetapi pemerintah juga harus serius dalam
menangani permasalahan ini agar SDM Indonesia memperoleh rating kualitas
pendidikan yang memadai. Untuk itu hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada
aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada
pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus
mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya
sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan).
Kedua, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan
pola student oriented
sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif
pada diri peserta didik.
Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam
arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses
pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan
mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer
of knowledge tapi
pembelajaran harus meliputi transfer
of value and skill,
serta pembentukan karakter (caracter building).
Keempat, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang
peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki
minat belajar yang tinggi.
Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi
proses (process oriented),
di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas
rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia
pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau
titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang
harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan
pengetahuan, kadar intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian
yang dimilikinya.
Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan
mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan
menyeimbangkan antara teori dengan praktek dalam implementasinya.
Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap
manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia
kerja.
Ketujuh, perlunya dukungan dan partisipasi komprehensif terhadap
praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap
dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah, sehingga memudahkan akses
pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat.
Kedelapan, profesi guru seharusnya bersifat ilmiah dan benar-benar
“profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya, guru memang pahlawan
tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai setimpal dengan
perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus diperhatikan
pemerintah.
Kesembilan, pemerintah harus memiliki formula kebijakan dan
konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan. Salah satunya
adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara menaikan anggaran untuk
pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini diperlukan political will kuat dari
pemerintah dalam menangani kebijakan pendidikan.
Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan kita
seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya sumber
daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor utama yang menjadi
indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber daya alam (SDA)
(hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung oleh peningkatan
kualitas sumber daya manusia, dan hal itu berhubungan dengan pendidikan sebagai
wahana pembentukan SDM.
Jadi, permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada dasarnya
berawal dari rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan
manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan
Indonesia kurang mampu bersaing dengan negara-negara lain, padahal secara
fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam melimpah
tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena kualitas SDM-nya yang kurang
mendukung.
Sistem pendidikan sangat
bergantung pada mutunya, seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan
mempunyai nilai jual yang tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang
jika kita melihat nasib institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu
pendidikan yang berada pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang
diteliti oleh The Political and
Eonomic Risk Consultancy (PERC) tahun 2001, jauh di bawh
Vietnam (6).
Hasil survei PERC itu
mengacu pada tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi,
untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun
harus berkualitas.
Sistem pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi
rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa
ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain.
Lemahnya SDM pendidikan
sebagai ekses sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena
masyarakat pekerja (worker
society) bak
jamur di musim hujan. Ini tentu berbeda dengan sistem pendidikan yang baik,
yang memproduksi employee
society.
Dalam konteks ini, Alvin Toffler dalam
buku The Future Shock (1972)
mengatakan, employee
dan worker itu
berbeda. (1) employee
memiliki ciri untuk terus meningkatkan kemampuan teknis termasuk
keterampilannya, sedangkan worker
menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang tetap; (2) employee dapat mengendalikan
alat (mesin), sedangkan worker
relatif dikendalikan oleh mesin; (3) mesin berkhidmat kepada employee, sedangkan worker berkhidmat kepada
mesin; (4) employee
pada dasarnya tidak perlu diawasi hanya perlu pembagian tanggung jawab,
sedangkan worker
harus diawasi melalui garis organisasi; dan (5) employee memiliki sarana produksi yaitu
informasi, sedangkan worker
tidak memilikinya.
Oleh karena itu, orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka
mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada
milenium ketiga ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi,
Iptek dan sosial budaya.
Kita seharusnya belajar dari Jepang dan Korea Selatan.
Walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi karena
dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer ekonomi dunia,
khususnya di kawasan Asia.
Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut H.D. Sudjana
(2000) memiliki lima
karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku yang dipandang sebagai akar
kekuatan bangsanya, yaitu:
Pertama, emulasi. Yaitu
hasrat dan upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik
selaku perorangan atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak
ketinggalan oleh orang, kelompok, atau bangsa lain.
Kedua, consensus. Yaitu
kebiasaan masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya
kompromi ini menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap
kepentingan bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi
pengikat dasar (root bindting) kehidupan
masyarakat Jepang.
Ketiga, futurism. Yaitu
mempeunyai pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa
harkat individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh
karena itu kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat
diutamakan dalam upaya meningkatkan kemajuan individu.
Keempat, kualitas. Mutu adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap
proses dan hasil produksi di Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors).
Kelima, kompetisi. Artinya sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata
ekonomi global.
C. Pendidikan dan Kemampuan Bersaing Bangsa
Kemampuan bersaing
pendidikan kita menghadapi era globalisasi ini sangat lemah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya sumber daya
manusia (SDM) yang ada.
Sebagai contoh kita bisa
melihat Tenaga kerja Indonesia (TKI) maupun TKW yang “diekspor” adalah tenaga
buruh, seperti: pembantu rumah tangga, perawat, buruh perkebunan, buruh
bangunan, sopir dan pekerja kasar lainnya. Sedangkan tenaga kerja asing yang
bekerja di Indonesia adalah kalangan pengusaha, investor dan pemilik
perusahaan. Pekerja kita amat minim penguasaan pengetahuannya serta rendah kemampuan
bahasa asingnya, terutama Bahasa Inggris.
Untuk melacak akar
kelemahan SDM Indonesia ini bisa dilihat melalui wahana pendidikan. Dari sini
secara logis dimunculkan pemikiran, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain
dalam memperebutkan lapangan kerja, maka yang harus dibenahi terlebih dahulu
adalah sector pendidikan.
Pendidikan harus
benar-benar diberdayakan oleh kita semua, sehingga nantinya, pendidikanlah yang
akan mampu memberdayakan masyarakat secara luas. Masyarakat yang terberdayakan
oleh sistem pendidikan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam
konteks persaingan global.
Konsekuensinya, pendidikan
harus dikonseptualisasikan sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan, yang
benar-benar harus disadari secara kolektif, baik oleh individu, keluarga,
masyarakat, lebih-lebih oleh pemerintah sebagai investasi masa depan
bangsa.
Dengan demikian, pendidikan memegang peranan penting dan
strategis dalam menghasilkan SDM yang akan membangun bangsa ini. Sikap ini
tidak berarti mengecilkan peran sektor lain dalam pembangunan bangsa. Adanya
sikap bahwa masa depan akan selalu penting dan strategis ini didasari oleh
pertimbangan empirik bahwa selama ini dan juga untuk waktu yang akan datang,
keberadaan sumberdaya manusia yang bermutu dalam arti seluas-luasnya akan
semakin dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.
Kualitas SDM yang diiringi moralitas dan integritas
kebangsaan yang kuat: tidak korup, jujur, kreatif, antisipatif dan memiliki
visi ke depan diasumsikan akan mempercepat bangsa ini keluar dari krisis yang
berlarut-larut. Sebagai perbandingan, dengan dukungan sumber daya manusia yang
kuat, negara-negara jiran kita seperti Malaysia, Thailand dan Filipina
mengalami kemajuan pesat dalam upaya keluar dari krisis seperti yang dialami
bangsa kita. Bahkan untuk kasus Malaysia, negara ini mampu memulihkan (recovey) kondisi
ekonominya tanpa perlu mengandalkan bantuan IMF.
Selanjutnya, dalam sektor ekonomi, perkembangan
perekonomian nasional, regional dan internasional yang begitu pesat seperti
pasar modal, bursa efek, AFTA, NAFTA, APEC dan kesepakatan-kesepakatan ekonomi
internasional yang lain, saat ini dan ke depan, semua itu akan menjadi
kebutuhan bangsa kita.
Tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
juga akan mengalami pergeseran. Perilaku individualistik akan tumbuh lebih
subur daripada rasa kebersamaan. Sementara itu, kehidupan demokratis akan lebih
diterima masyarakat ketimbang perilaku yang otoriter. Perilaku egaliter secara
vertikal dan horizontal akan lebih menonjol dibanding yang feodal dan
paternalistik.
Keterbukaan (transparancy)
akan diterima masyarakat. Di sisi
lain, semangat nasionalisme dan kesemestaan harus dapat membawa kemajuan
bangsa. Janganlah alasan
nasionalisme menjadikan bangsa tidak bisa maju dan berkembang. Sebaliknya,
semangat kesemestaan tidak dijadikan alasan bangsa ini tercabik dan terinveksi
oleh virus globalisasi.
Semua itu, sekali lagi, memerlukan peran signifikan dan
antisipasi pendidikan, apakah pendidikan kita mampu mengakomodasi dan
memberikan solusi dalam upaya memajukan dan memenangkan kompetisi global yang
keras dan ketat, ataukah justru terbelenggu dan asik dalam lingkaran
globalisasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Era
globalisasi akan ditandai dengan persaingan ekonomi secara hebat berbarengan
dengan terjadinya revolusi teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan
teknologi industri. Persaingan ini masih
dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia, Uni Eropa
dan Amerika Serikat.
Masing-masing
menampilkan keunggulan yang dimiliki. Amerika misalnya unggul dalam product technology, yaitu
teknologi yang menghasilkan barang-barang baru dengan tingkat teknologi
yang tinggi, contoh pembuatan pesawat terbang supersonik, robot, dan
lain-lain.
Pemerintah,
sebagai pemegang kebijakan pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang
besar dalam mensukseskan program pendidikan. Sebab di antara
kelemahan-kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah
dalam menangani permasalahan pendidikan ini.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan
makalah ini dimasa yang akan datang.